Laporan Wartawan Tribunnews, Fitri Wulandari
TRIBUNNEWS.COM, MARIUPOL - Sekitar 5.000 orang termasuk di antaranya hampir 210 anak-anak tewas selama pengepungan yang dilakukan pasukan Rusia di kota Mariupol, Ukraina.
Angka tersebut seperti yang tercatat dalam data yang diberikan Wali Kota Mariupol Vadym Boychenko kepada media.
"27 hari dimulainya pengepungan (Mariupol), tepatnya hingga 27 Maret kemarin, hampir 5.000 orang tewas di kota ini, termasuk sekitar 210 anak-anak," kata laporan itu.
Dikutip dari laman Ukrinform, Senin (28/3/2022), selama periode ini, penembakan dan pengeboman yang dilakukan pasukan Rusia telah merusak 2.340 blok apartemen.
Angka tersebut merupakan 90 persen dari total kerusakan, di mana 1.560 atau sekitar 60 persen terkena secara langsung dan 1.040 atau 40 persen mengalami kehancuran.
Sementara itu, di sektor swasta sebanyak 61.200 atau sekitar 90 persen rumah rusak, di mana 40.800 atau 60 persen terkena langsung dan 27.200 atau 40 persen hancur.
Baca juga: Jerman akan Tuntut Siapa pun yang Gunakan Simbol Z Pasukan Rusia dalam Perang Ukraina
Pasukan Rusia disebut telah menimbulkan kehancuran pula pada 3 rumah sakit dan kerusakan pada 7 fasilitas kesehatan lainnya.
Selain itu, 57 sekolah dan 70 taman kanak-kanak turut terkena dampak, masing-masing yakni 23 dan 28 bangunan mengalami kehancuran.
Selanjutnya, 2 pabrik, 1 pelabuhan, dan 1 unit militer juga mengalami kerusakan.
Sebelum blokade, ada sekitar 140.000 orang telah melarikan diri dari Mariupol dan 150.000 orang dievakuasi dari kota itu setelah pengepungan.
Baca juga: Rangkuman Invasi Hari ke-33: Tentara Ukraina Tembak Tahanan Rusia, Putin Rencanakan Skenario Korea
Boychenko menyampaikan bahwa saat ini dirinya memprediksi sebanyak 170.000 orang masih dikepung dan 30.000 dideportasi oleh Rusia.
Ia mencatat bahwa angka-angka ini hanya merupakan perkiraan, karena tidak mungkin untuk secara akurat menilai kerugian hingga konflik ini mereda.
Sebelumnya, Presiden Rusia Vladimir Putin mengatakan dalam pidato yang disiarkan televisi nasional negara itu pada 24 Februari lalu bahwa sebagai tanggapan atas permintaan para Kepala Republik Donbass, ia telah membuat keputusan untuk melakukan operasi militer khusus.
Baca juga: Zelensky Tawarkan Putin Jalan Keluar dari Perang Ukraina: Ini Kompromi
Operasi ini dilakukan untuk melindungi orang-orang 'yang telah mengalami pelecehan dan genosida oleh rezim Ukraina selama 8 tahun'.
Kendati demikian, pemimpin Rusia itu menekankan bahwa negaranya tidak memiliki rencana untuk menduduki wilayah Ukraina.
Ia juga menekankan operasi tersebut ditujukan untuk 'denazifikasi dan demiliterisasi Ukraina'.
Sementara itu, negara Barat telah memberlakukan sanksi besar-besaran terhadap Rusia karena melakukan invasi ke Ukraina.
Penerapan sanksi ditujukan terhadap badan hukum maupun individu swasta Rusia.