TRIBUNNEWS.COM, MOSKOW - Gedung Putih mengatakan bahwa Presiden Rusia Vladimir Putin disesatkan oleh para penasihat yang takut melaporkan kondisi buruk di medan perang.
Sementara itu, intelijen Inggris mengklaim pasukan Rusia di Ukraina mengalami demoralisasi, kekurangan peralatan, dan menolak melaksanakan perintah.
Dilansir BBC, jubir Gedung Putih Kate Bedingfield mengatakan AS memiliki informasi bahwa Putin "merasa disesatkan oleh militer Rusia".
Hal ini, kata Bedingfield, mengakibatkan ketegangan antara Putin dan para pembantu militernya.
"Perang Putin telah menjadi kesalahan strategis yang telah membuat Rusia lebih lemah dalam jangka panjang dan semakin terisolasi di panggung dunia," katanya.
Baca juga: Putin Sarankan Pasukan Ukraina Menyerah Jika Ingin Penembakan di Mariupol Dihentikan
Baca juga: Zelensky Tak Percaya Janji Rusia Tarik Pasukan dari Ibu Kota Ukraina: Kami Tak akan Serahkan Apapun
Juru bicara Pentagon, John Kirby, menyebut penilaian itu hal yang menganggu karena negosiasi damai bisa terkendala jika Putin tidak mendapat informasi sebenarnya.
"Hal lainnya adalah, Anda tidak tahu bagaimana reaksi pemimpin seperti itu jika mendapat kabar buruk," katanya.
Lebih lanjut, Gedung Putih juga mengklaim Presiden Rusia tidak diberi tahu dampak penuh sanksi Barat terhadap ekonomi dalam negeri.
Pasukan Ukraina dilaporkan kembali melakukan serangan, setelah berjanji akan mengurangi operasi militernya di sekitar Kyiv dan Chernihiv pada Selasa (29/3/2022).
Jeremy Fleming, kepala badan intelijen siber Inggris GCHQ, mengatakan langkah itu menambah indikasi bahwa Rusia telah "salah menilai situasi secara besar-besaran".
Dalam pidatonya di Australia pada Kamis, Fleming mengatakan pasukan Rusia menyabotase peralatannya sendiri dan menembak jatuh pesawatnya.
Dia juga memperingatkan Beijing agar tidak terlalu dekat dengan Moskow.
Sementara itu di lapangan, pejabat AS dan Ukraina mengatakan Rusia terus memposisikan kembali pasukannya dari Kyiv.
Pembicaraan damai antara Rusia dan Ukraina akan dimulai kembali secara online pada 1 April, menurut negosiator Ukraina David Arakhamia.