TRIBUNNEWS.COM - Presiden Sri Lanka mengumumkan keadaan darurat dan mengerahkan pasukan keamanan, sehari setelah ratusan warga menyerbu kediamannya untuk memprotes krisis ekonomi.
Presiden Gotabaya Rajapaksa memberlakukan undang-undang yang memungkinkan militer menangkap dan menahan demonstran tanpa pengadilan, Jumat (1/4/2022).
Di saat yang sama, aksi demonstrasi yang menyerukan pengunduran diri Rajapaksa meluas ke seluruh negara Asia Selatan itu.
Dalam pidatonya, Presiden Rajapaksa mengatakan keadaan darurat diaktifkan untuk "perlindungan ketertiban umum dan pemeliharaan persediaan dan layanan yang penting bagi kehidupan masyarakat".
Dilansir Al Jazeera, Sri Lanka menghadapi krisis ekonomi yang belum pernah terjadi sebelumnya sejak merdeka dari Inggris pada 1948.
Baca juga: Berita Foto : Sri Lanka Membara Akibat Krisis Ekonomi
Baca juga: Sri Lanka Alami Krisis: Pemadaman Listrik Diberlakukan 13 Jam, Rumah Sakit Berhenti Beroperasi
Negara berpenduduk 22 juta ini mengalami kekurangan bahan pokok, kenaikan harga yang tajam, hingga pemadaman listrik.
Polisi memberlakukan kembali jam malam pada Jumat di Provinsi Barat, yang meliputi ibu kota Kolombo.
Sebelumnya, pada malam waktu setempat, puluhan aktivis HAM membawa plakat tulisan tangan dan lampu minyak saat berdemonstrasi di persimpangan jalan Kolombo.
"Saatnya untuk mundur dari Rajapaksas," bunyi tulisan salah satu plakat.
"Jangan korupsi lagi, pulang Gota," tulisan lainnya, merujuk pada presiden.
Di Kota Nuwara Eliya, para aktivis memblokir pembukaan pameran bunga istri Perdana Menteri Mahinda Rajapaksa, Shiranthi, lapor polisi.
Demonstrasi pecah di wilayah selatan tepatnya di Kota Galle, Matara, dan Moratuwa.
Aksi serupa dilaporkan di wilayah utara dan tengah, hingga menyebabkan lalu lintas terhambat.
Kerusuhan pada Kamis (31/3/2022) malam di luar rumah pribadi presiden, dilakukan massa yang ingin Rajapaksa mundur dari jabatannya.