Meski beberapa pihak berulang kali memintanya mundur dari jabatan, sebagian besar menilai situasinya belum tepat.
Namun Mark Harper, politisi Partai Konservatif, memaksa Johnson untuk segera mundur dan mengaku tidak percaya ia bisa memegang jabatan PM.
Pemungutan Suara
Anggota parlemen akan memberikan suaranya pada Kamis, untuk memutuskan apakah skandal pelanggaran lockdown oleh PM Johnson harus dilanjutkan ke komite hak istimewa parlemen untuk penyelidikan.
Namun, mosi tersebut kemungkinan tidak akan lolos karena Johnson tetap mendapat dukungan dari sebagian besar anggota parlemen di Partai Konservatifnya dan masih dapat memimpin mayoritas di parlemen.
Dalam pernyataan pertamanya kepada parlemen sejak dijatuhi denda, Johnson berusaha menangkis beberapa kritik dengan berbicara tentang masalah lain yang dia hadapi, termasuk perang di Ukraina, krisis energi, dan imigrasi.
Tapi, polisi telah menyelidiki 12 pertemuan di Downing Street dan Perdana Menteri masih bisa didenda lagi.
Tekanan juga akan meningkat, dengan anggota parlemen Konservatif lainnya diharapkan mempertimbangkan kinerja partai dalam pemilihan lokal pada 5 Mei, bersama dengan persepsi pemilih terhadap Perdana Menteri.
Sebuah jajak pendapat oleh JL Partners untuk surat kabar The Times meminta 2.000 orang untuk memberikan pandangan mereka tentang Boris Johnson.
Baca juga: Ultimatum Rusia terhadap Ukraina Gagal, Barat Akan Kirim Lebih Banyak Senjata
Baca juga: Lockdown Shanghai Berujung Krisis Pangan, Harga Mi Instan Nyaris Tembus Rp 1 Juta per Kardus
Sebanyak 72 persen responden negatif, sementara hanya 16 persen yang positif.
Kata yang paling umum digunakan adalah "pembohong".
John Whittingdale, mantan menteri dari Partai Konservatif, mengatakan bahwa sementara banyak konstituennya marah, sekarang bukan waktunya untuk menggantikan perdana menteri karena perang di Ukraina.
"Kami saat ini menghadapi krisis paling parah dalam keamanan global kami untuk waktu yang lama dan penting bagi kami untuk tetap fokus mengalahkan Putin dan menghentikan agresi terhadap Ukraina," katanya.
(Tribunnews/Ika Nur Cahyani)