TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Indonesia saat ini menjabat sebagai Presiden di G20.
Kelompok Negara G20 adalah Kerjasama ekonomi negara negara dengan Gross Domestic Product (GDP) 20 besar dunia.
Meskipun G20 diniatkan sebagai arena kerjasama ekonomi, namun belakangan ini urusan politik dan keamanan bercampur di urusan G20.
Demikian dikemukakan Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI, MH Said Abdullah, kepada pers pada Sabtu (7/5/2022).
Seperti sudah dilansir dibanyak media, Said mengatakan Amerika Serikat dan aliansinya di NATO membawa urusan perang Ukraina dan Rusia kedalam agenda G20.
"Kita ketahui bersama pada 20 April 2022 lalu, saat Menteri Keuangan Indonesia memimpin pertemuan para menteri keuangan dan gubernur bank sentral G20, Menteri Keuangan Amerika Serikat, Inggris dan Kanada Walk Out (WO) karena ada kehadiran delegasi Rusia pada pertemuan tersebut," ujar Said Abdullah.
Baca juga: Presiden Jokowi Undang Putra Mahkota Abu Dhabi Hadiri KTT G20
Sebelumnya Perdana Menteri Australia dan Perdana Menteri Kanada menghubungi Presiden Joko Widodo meminta Indonesia tidak mengundang Rusia, dan menyatakan tidak mau melihat Presiden Rusia, Vladimir Putin hadir di G20 Oktober mendatang di Bali.
Oleh karena itu, Said mengatakan ancaman WO negara-negara barat di forum G20 dapat kita baca dalam beberapa hal.
Pertama, mereka bersikap kekanak-kanakan, tidak proporsional dalam menempatkan persoalan. Pertemuan G20 yang sejatinya urusan kerjasama ekonomi di cemari motif motif lain.
Kedua, sikap itu menunjukkan arogansi Amerika Serikat dan sekutunya.
"Semua hal dan instrumen mereka gunakan untuk mendukung kepentingan aliansi mereka, seolah semua pihak harus tunduk dan mengalah atas kepentingan mereka," ujar Said.
Meskipun bukan pada tempatnya yang proprosional melibatkan konflik Rusia dan Ukraina di G20 namun Indonesia, menurut Said, memilih berfikir dewasa dan menunjukkan kepada dunia, bahwa Indonesia memiliki komitmen yang kuat atas upaya perdamaian dunia.
Yakni Presiden Joko Widodo mengundang Presiden Ukraina, Volodymyr Zelenksky sekaligus juga mengundang Presiden Vladimir Putin pada KTT G20 Oktober mendatang di Bali.
"Jika mengacu pada ketentuan G20, tentu saja Presiden Ukraina, Volodymyr Zelenksky tidak memiliki hak bicara karena Ukraina bukan anggota G20," ujarnya.
Oleh karena itu, ruang bagi Zelenksky di KTT G20 tentu saja hanya sebagai pemantau.
"Namun Indonesia sebagai tuan rumah KTT, sekaligus Presidensi G20 dapat membuat side event meeting yang mempertemukan Zelenksky dan Putin. Apalagi tiga tema sentral G20, yakni Global Health Architecture, Sustainable Energy Transition, dan Digital Transformation sama sekali tidak terkait dengan Perang di Ukraina," katanya.
Said Abdullah berharap Amerika Serikat dan aliansinya bisa melihat kesungguhan Indonesia dalam mengupayakan perdamaian kedua belah pihak.
"Kita berharap negara negara Eropa yang tergabung dalam G20 seperti; Jerman, Inggris, Perancis dan Itali ikut memberikan dukungan atas peran yang diambil oleh Indonesia dalam mengupayakan perundingan damai antara Ukraina dan Rusia," ujarnya.
Selain itu, kata dia, Eropa perlu mencatat bahwa eskalasi di Ukraina akan berdampak langsung ke keseluruhan kawasan Eropa.
"Apalagi jika kecamuk perang terus berkepanjangan, jutaan arus pengungsian akan menjadi beban negara negara penampung," ujarnya,
Dikatakan bahwa eskalasi yang kian menegang di Ukraina juga akan menekan berbagai komoditas utama, seperti gas, minyak bumi, dan minyak biji bunga matahari serta gandum. Akibatnya, daratan Eropa juga yang akan merasakan resikonya.
"Apalagi jika sampai pecah perang nuklir, tidak menutup kemungkinan sebagian besar daratan Eropa yang penuh kemakmuran dalam sekejap rata tanah," kata dia.
Politik Luar Negeri
Lebih jauh, Said Abdullah mengatakan sikap Indonesia yang menghendaki penghentian peperangan di Ukraina, dan mendorong para pihak menempuh jalan perundingan sebagai jalur penyelesaian konflik, dan tidak memihak konsekuensi dari perintah konstitusi.
Meskipun secara geopolitik, Indonesia dikepung oleh pakta pertahanan FPDA atau Five Power Defence Arrangements, sebuah pakta pertahanan yang merupakan Persemakmuran Inggris (Inggris, Singapura, Malaysia, Australia dan Selandia Baru).
Posisi ini, menurut Said, tidak serta merta Indonesia merapat ke “Poros Tiongkok”.
Alih alih merapat ke Tiongkok, Indonesia malah beberapa kali “clash” dengan Tiongkok di laut Natuna Utara atas klaim Tiongkok melalui nine dash line yang tidak berdasar pada hukum laut internasional.
"Indonesia teguh dengan politik luar negeri yang bebas, yang berarti bukan dari berbagai aliansi atau pakta pertahanan. Walau begitu Indonesia memandang penting untuk aktif dalam menempuh perdamaian dunia melalui berbagai saluran diplomasi internasional yang sah," katanya.
Menurut Said, kebijakan luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif ini cukup menguntungkan. Sebab Indonesia memiliki legitimasi politik dan moral dari para pihak yang bersengketa.
"Terlebih dengan posisi Indonesia sebagai Presidensi G20 menjadi tambahan bekal yang memadai untuk menguatkan perannya," katanya.
Said Abdullah mengatakan tantangan peran Indonesia sebagai juru damai Ukraina dan Rusia tentu sangat banyak.
Pertama, target Putin yang menghendaki demiliterisasi Ukraina, menjadikan Ukraina sebagai negara netral, pengakuan kemerdekaan terhadap Republik Rakyat Donetsk dan Luhansk, serta denazifikasi tentu bukanlah proposal yang mudah diterima oleh Ukraina. Sebab tuntutan ini sama halnya mengakui disintegrasi teritorial Ukraina, dan pelucutan militer Ukraina sebagai negara berdaulat.
"Terhadap klaim tuntutan kemerdekaan atas Donetsk dan Luhansk, Indonesia sebaiknya mendorong dilakukan referendum rakyat setempat secara fair, dan Indonesia dapat menawarkan sebagai bagian dari joint committee untuk melaksanakan referendum tersebut. Hasil referendum dapat menjadi acuan kedua belah pihak," katanya.
Kedua, dukungan NATO terhadap Ukraina, terutama bantuan peralatan perang, serta pengiriman tentara bayaran ke Ukraina, serta berbagai provokasi latihan militer di Polandia justru kontraproduktif bagi terciptanya upaya damai Rusia dan Ukraina.
"Namun tanpa dukungan nyata dari NATO, sulit bagi Ukraina untuk memiliki posisi tawar yang sejajar dengan Rusia di meja perundingan. Indonesia dapat menawarkan kedua belah pihak untuk genjatan senjata terlebih dahulu, dan secara bertahap membuat kesepakatan, walaupun belum mungkin secara keseluruhan agenda, sambil merumuskan peta jalan jangka panjang," kata Said.
Ketiga, lanjut Said, bersamaan dengan langkah langkah diatas, melalui forum G20, Indonesia mengupayakan agar Amerika Serikat dan aliansinya secara bertahap menganulir berbagai sanksi, terutama sanksi ekonomi yang dikenakan terhadap Rusia.
"Tantangan yang bakal dihadapi Indonesia adalah egoisme Amerika Serikat dan Inggris yang terus menegaskan dirinya sebagai kekuatan adidaya, dan tidak menghendaki Rusia sebagai kekuatan militer terbesar kedua dunia malampaui kekuatannya. Terlebih lagi, jika ada perang dan ada andil Amerika Serikat didalamnya otomatis menguntungkan eksistensi military industrial complex," katanya.
Keempat, peran PBB yang tumpul dalam mengupayakan berbagai penyelesaian sengketa dibanyak wilayah.
"Saya melihat Rusia tidak percaya terhadap PBB. Rusia memandang pengaruh Amerika Serikat dan aliansinya sangat kuat dalam menentukan suara di internal PBB. Atas keadaan ini, bisa jadi Rusia memandang PBB bukanlah tangan yang adil untuk ikut andil sebagai juru damai," ujarnya.
Terbaru Rusia seolah memberi “kode” bagi Sekjen PBB Antonio Guteres saat berkunjung ke Kiev beberapa waktu lalu dengan menjatuhkan rudal disekitar kawasan pertemuan Guteres dengan Zelensky.
"Menimbang posisi ini, sebaiknya Indonesia lebih prioritas menempuh jalur non PBB, serta dalam jangka panjang mendorong reformasi PBB agar lebih setara dan demokratis," kata Said.
Kelima, perang urat syaraf para tokoh tokoh dikedua belah pihak, termasuk NATO di media massa masih akan menjadi bensin penyulut api konflik di Ukraina.
"Indonesia melalui forum G20 dapat mendesak pihak pihak yang terlibat dalam sengketa Ukraina dan Rusia, termasuk para pemimpin NATO agar lebih puasa bicara, dan mendorong berbagai pernyataan publik lebih produktif bagi terciptanya upaya damai dikedua belah pihak, serta mengajak para jurnalis internasional sebagai bagian dari peace keeper," ujar Said Abduillah.