Ia menambahkan, “Suaranya sangat indah, bahkan ketika dia menceritakan kisah-kisah yang memilukan.”
Abu Akleh sedang bertugas di kota Jenin di Tepi Barat yang diduduki, meliput serangan Israel di sebuah kamp pengungsi, ketika dia terbunuh.
Dia ditembak di kepala saat mengenakan rompi antipeluru biru yang ditandai secara jelas kata "PRESS”.
Dalam sebuah pernyataan, Jaringan Media Al Jazeera menyebut pembunuhan Abu Akleh sebagai "pembunuhan terang-terangan" dan "kejahatan keji".
Jaringan tersebut menuduh pasukan Israel menargetkan jurnalis veteran dengan tembakan langsung dan membunuhnya secara "darah dingin".
Tentara Israel membantah menargetkan wartawan dan telah menawarkan penyelidikan bersama atas kematian Abu Akleh di tengah meningkatnya protes.
Tamer Al-Meshal, yang bekerja dengan Abu Akleh pada saat pembunuhannya, menyebutnya sebagai model bagi jurnalis Palestina dan Arab.
“Sampai detik terakhir, dia profesional dan gigih dalam pekerjaannya,” katanya.
“Pesan terakhir yang dikirim Shireen Abu Akleh ke Al Jazeera adalah melalui email pada pukul 06.13.
“Pasukan pendudukan menyerbu Jenin dan mengepung sebuah rumah di lingkungan Jabriyat. Dalam perjalanan ke sana, saya akan membawakan Anda berita segera setelah gambarannya menjadi jelas,” tulis Abu Akleh di emalnya.
“Kami dan pemirsa tidak tahu berita yang dia kirimkan ini adalah berita kesyahidannya,” kata Tamer Al Meshal.(Tribunnews.com/Aljazeera.com/xna)