TRIBUNNEWS.COM, BERLIN - Mantan Kanselir Jerman Angela Merkel membela seruannya pada 2008 untuk menghalangi Ukraina bergabung ke NATO.
Ia bersikeras Moskow akan menganggap langkah itu sebagai “deklarasi perang” terbuka. Penegasan Merkel disampamikan di panggung teater Berlin, Selasa (7/6/2022).
Ini pernyataan publik pertama Angela Merkel sejak Rusia menggelar serangan khusus ke Ukraina 24 Februari 2022.
Menurut Merkel, prakarsa perdamaian yang ditengahi Jerman pada 2014, gagal memberi waktu Kiev untuk mempersiapkan diri secara politik dan militer untuk menghadapi Rusia.
"Saya tidak perlu menyalahkan diri sendiri karena tidak berusaha cukup keras," kata Merkel dalam penampilan publik besar pertamanya sejak mengundurkan diri tahun lalu.
“Diplomasi tidak salah hanya karena tidak berhasil,” tegasnya.
Baca juga: Olaf Scholz Akui Sanksi Anti-Rusia Sebabkan Ekonomi Jerman Alami Kerugian
Baca juga: Perusahaan Energi Jerman Setuju Bayar Gas Sesuai Keinginan Rusia
Baca juga: 31 Tahun Reunifikasi Jerman: Angela Merkel Serukan Persatuan Timur-Barat
Pada 2008, blok militer pimpinan AS mengeluarkan Deklarasi KTT Bukares, menyetujui Georgia dan Ukraina pada akhirnya akan menjadi anggota NATO.
Namun, mereka tidak benar-benar menjalankan rencana karena keberatan dari Perancis dan Jerman.
“Penilaian saya cukup jelas. Jika rencana aksi (AS dkk) kembali, (konflik Ukraina) akan terjadi lebih cepat,” kata Merkel.
Ia menambahkan, pada saat itu, Ukraina adalah negara yang diperintah oligarki. “Jadi Anda tidak bisa hanya mengatakan, oke besok kami akan membawa mereka ke NATO,” tegas Merkel.
Inisiatif Jerman dan Prancis
Setelah kudeta 2014 di Kiev, pemerintah Merkel, bersama Prancis, menjadi penjamin Perjanjian Minsk, yang ditandatangani untuk mengatur status wilayah Donetsk dan Lugansk di dalam negara Ukraina.
Pada 2016, apa yang disebut Formula Steinmeier diusulkan. Provinsi-provinsi yang memisahkan diri di Ukraina timur seharusnya mengadakan pemilihan di bawah undang-undang Ukraina.
Di bawah pengawasan OSCE, mereka akan menerima status pemerintahan sendiri khusus dan mengembalikan kendali perbatasan mereka ke Kiev.
“Perjanjian ini telah dimasukkan ke dalam resolusi Dewan Keamanan PBB, sehingga bersifat hukum internasional,” kata Merkel.
Ini menurutnya menenangkan masalah dan memberi Ukraina banyak waktu, tujuh tahun, untuk berkembang menjadi seperti sekarang.
Mengutip penolakan Kiev untuk menerapkan persyaratan inisiatif perdamaian, Moskow akhirnya mengakui Donetsk dan Lugansk sebagai negara merdeka, dan mengirim pasukan ke Ukraina pada 24 Februari.
Rusia kini menuntut agar Ukraina secara resmi menyatakan dirinya sebagai negara netral yang tidak akan pernah bergabung dengan blok militer NATO.
Kiev menegaskan serangan Rusia benar-benar tidak beralasan dan membantah klaim mereka berencana merebut kembali kedua republik secara paksa.
Merkel mengutuk serangan (Rusia) itu sebagai kesalahan besar atas nama Rusia dan serangan brutal yang bertentangan hukum internasional.
Dia menuduh Presiden Rusia Vladimir Putin berusaha menghancurkan Eropa, bersikeras dia tidak pernah naif dalam interaksinya dengan Putin dan mengklaim kekuatan adalah “satu-satunya bahasa” yang dia (Putin) mengerti.
"Sangat penting bagi Uni Eropa untuk tetap bersatu sekarang," tambah Merkel, meskipun dia tetap menekankan perlunya menemukan cara untuk hidup berdampingan.
Merkel mengingatkan agar semua melupakan perbedaan, karena negara-negara seperti Rusia atau Cina terlalu besar untuk diisolasi atau diabaikan.
Jerman Tak Percayai Zelensky
Beberapa waktu lalu, media terkemuka Jerman, Der Spiegel, mengungkap keraguan Jerman mengirim tank ke Ukraina untuk melawan pasukan Rusia.
“Karena alasan historis,” kata sumber-sumber pemerintah Jerman kepada majalah Der Spiegel.
Menurut pejabat yang tidak disebutkan namanya, ada kekhawatiran dalam pemerintahan Kanselir Olaf Scholz, Kiev bisa menjadi terlalu percaya diri jika mencapai serangkaian kemenangan.
Hal itu akan mendorong mereka meluncurkan serangan ke wilayah Rusia.
Perkembangan seperti itu berarti tank-tank Jerman akan sekali lagi berada di dalam Rusia. Situasi ini mengacu invasi Nazi Jerman ke Uni Soviet pada 1941.
Ketakutan persenjataan Jerman akan masuk Rusia ini menyoroti ketidakpercayaan tertentu di Berlin terhadap Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky.
Itu juga yang menurut Der Spiegel menjadi alasan mengapa industri pertahanan di Jerman belum diizinkan untuk mengirimkan tank tempur.
Sejauh ini, tank hanya dipasok ke pemerintah Kiev oleh Polandia dan Republik Ceko, bukan eksportir senjata utama seperti AS, Inggris, dan Prancis.
Meskipun embargo tank tidak pernah dibahas di tingkat NATO, kesepakatan tidak resmi tentang masalah ini telah dicapai antara Washington, London dan Paris.
Karena itu Jerman tidak akan pernah menjadi negara pertama yang mengirimkan tank ke Ukraina karena alasan historis.
Laporan Der Spiegel mengutip politisi dan analis yang menuduh Scholz terlalu lambat untuk membantu Ukraina dengan senjata untuk melawan Rusia.
Penulis artikel itu juga mengutip desas-desus kanselir telah dipaksa ke dalam setiap konsesi yang dia buat sejauh ini atas bantuan militer, tetapi kemudian masih menunda pengiriman.
Sejak akhir Februari, ketika serangan militer Rusia di Ukraina dimulai, Berlin hanya memasok senjata ringan ke Kiev.
Jumlah pengiriman telah berkurang dari waktu ke waktu. Media Welt am Sonntag melaporkan hanya dua pengiriman Jerman yang tiba di Ukraina antara 30 Maret dan 26 Mei.
Pengiriman senjata berat, termasuk 30 ranpur anti-pesawat Gepard, tujuh howitzer self-propelled Panzerhaubitze 2000 dan empat sistem roket peluncuran ganda MARS II, telah diumumkan Berlin, tetapi belum terwujud.
Scholz mengklaim pekan lalu Jerman juga akan mengirim salah satu senjata paling modernnya – sistem pertahanan udara IRIS-T – kepada pemerintah Kiev.
Namun, Kementerian Pertahanan mengatakan tidak memiliki stok perangkat keras dimaksud, dan mereka harus bertanya ke pabriknya.
Menurut laporan media, Ukraina hanya bisa berharap untuk mendapatkan sistem pada November.
Itu mungkin sudah terlambat, menurut Der Spiegel, karena informasi intelijen Jerman, pasukan Rusia menguasai Donbass pada Agustus.(Tribunnews.com/RussiaToday/xna)