TRIBUNNEWS.COM - Lebih dari 300.000 warga sipil tewas dalam satu dekade akibat konflik di Suriah.
Menurut PBB, jumlah tersebut merupakan perkiraan kematian tertinggi terkait konflik dalam perang saudara yang dimulai pada 2011.
Angka tersebut mewakili 83 kematian warga sipil, termasuk sembilan wanita dan 18 anak-anak, setiap hari selama 10 tahun hingga 2021.
Demikian menurut laporan ekstensif yang dirilis oleh Dewan Hak Asasi Manusia PBB.
"Angka korban terkait konflik dalam laporan itu bukan sekadar kumpulan angka abstrak tetapi mewakili individu manusia," kata Michelle Bachelet, Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia, seperti dilansir CNN.
Baca juga: Rusia Ancam akan Serang Pejuang yang Bersekutu dengan AS di Suriah
"Dampak dari pembunuhan masing-masing dari 306.887 warga sipil ini akan memiliki dampak yang mendalam dan bergema pada keluarga dan komunitas tempat mereka berasal."
Laporan tersebut mengutip 143.350 kematian warga sipil yang didokumentasikan secara individual oleh berbagai sumber dengan informasi rinci yang mencakup nama lengkap almarhum, tanggal, dan lokasi kematian.
Laporan PBB tidak termasuk orang yang tewas dalam perang yang keluarganya tidak memberi tahu pihak berwenang, juga tidak termasuk kematian tentara dan pejuang tetapi jumlah mereka diyakini mencapai puluhan ribu.
Perang Saudara Suriah
Perang saudara Suriah dimulai selama Musim Semi Arab pada tahun 2011 sebagai pemberontakan damai terhadap Presiden negara itu, Bashar al-Assad.
Peristiwa dengan cepat meningkat, menghancurkan kehidupan jutaan orang, menghancurkan kota-kota, menegangkan politik global, dan memacu upaya diplomatik yang terus dipertanyakan.
Para ahli mengatakan konflik Suriah bukan hanya salah satu yang paling berdarah di dunia, tetapi juga yang paling kompleks.
Baca juga: Media Suriah Konfirmasi Bandara Damaskus Rusak Parah setelah Serangan Israel
Bachelet mengatakan kematian 306.887 warga sipil mewakili 1,5 persen dari total populasi.
Angka tersebut memicu kekhawatiran serius mengenai "kegagalan pihak-pihak dalam konflik untuk menghormati norma-norma hukum humaniter internasional tentang perlindungan warga sipil."
"Analisis ini juga akan memberikan gambaran yang lebih jelas tentang tingkat keparahan dan skala konflik," kata Bachelet.
“Biar saya perjelas, ini adalah orang-orang yang terbunuh sebagai akibat langsung dari operasi perang. Ini tidak termasuk banyak, lebih banyak lagi warga sipil yang meninggal karena hilangnya akses ke perawatan kesehatan, makanan, air bersih dan hak kebutuhan manusia lainnya yang masih harus dinilai."
(Tribunnews.com/Yurika)