TRIBUNNEWS.COM - Pengamat dari analis think tank RUSI yang berbasis di London, Inggris, Neil Melvin, menilai kemajuan Rusia dalam perang melawan Ukraina sangat lambat.
Pernyataan ini disampaikan Melvin usai Rusia berhasil merebut wilayah Luhanks di timur Ukraina.
“Saya pikir ini adalah kemenangan taktis bagi Rusia, tetapi dengan biaya yang sangat besar dalam konteks tujuan militer yang direncanakan ulang,” katanya, dikutip dari Reuters, Selasa (5/7/2022).
Sementara itu, Rob Lee dari Institut Penelitian Kebijakan Luar Negeri yang berbasis di AS menyebut perebutan Luhansk hanyalah tujuan yang sangat kecil dibanding tujuan awal Rusia yang ambisius.
Selain merebut Luhansk dan Donetsk, tujuan awal Rusia berperang adalah untuk menduduki pemerintahan atau setidaknya mengubah orientasi Ukraina, termasuk de-militerisasi.
"Jelas Rusia memiliki tujuan yang lebih ambisius ketika awal perang," ujar Lee.
Baca juga: Mengapa Serangan Rusia ke Ukraina Kian Agresif Setelah Kunjungan Jokowi? Ini Analisis Pengamat
Rusia yang telah mengubah taktik medan perangnya, menggunakan penembakan jarak jauh utnuk memaksa pasukan Ukraina mundur.
Melvin menilai cara tersebut tak akan membantu Rusia meraih momentum.
Justru, katanya, Rusia mengalami kemajuan sangat lambat dan hanya menghabiskan senjata canggih mereka.
“Ini bukan cara untuk membangun momentum, mereka mengambil wilayah yang relatif kecil setiap hari dan dalam konteks perang modern, ini adalah kemajuan yang sangat lambat."
"Rusia membakar (menghabiskan) peralatan dan personel canggih mereka, jadi mereka membayar harga untuk ini," terang Melvin.
Rusia sendiri telah mengakui mereka kehabisan senjata dalam perang melawan Ukraina.
Kremlin diketahui membuat rancangan undang-undang (RUU) federal yang memungkinkan Rusia memperbaiki senjata dan peralatan secara cepat.
Pada Kamis (30/6/2022) malam, RUU itu diajukan ke Duma Negara mengenai "langkah-langkah ekonomi khusus" untuk "kontrateroris dan operasi lain" di luar Rusia.