Serangan seperti demikian terhitung luar biasa di Jepang.
Sehingga bagi politikus bahkan hingga tingkat perdana menteri, pengamanan yang relatif longgar telah menjadi kebiasaan.
Sebelum Abe, insiden penembakan paling terkenal terjadi pada 2019.
Waktu itu, seorang bekas anggota geng ditembak di sebuah tempat karaoke di Tokyo.
Bagaimana kontrol senjata api Jepang?
Hukum Jepang mengatur bahwa kepemilikan senjata api, juga jenis pisau dan senjata tertentu seperti busur panah, ilegal tanpa izin khusus.
Impor senjata-senjata itu pun ilegal.
Mereka yang ingin memiliki senjata api mesti melalui serangkaian pemeriksaan latar belakang yang ketat.
Salah satunya adalah keterangan sehat dari dokter dan menyampaikan informasi tentang anggota keluarga.
Mereka juga mesti melalui uji coba untuk menunjukkan bahwa mereka bisa menggunakan senjata api dengan benar. Setelah itu, orang yang lolos uji latar belakang dan membeli senjata api juga wajib membeli suatu sistem pengunci khusus untuk unit senjata tersebut pada waktu yang sama.
Setelah melalui serangkaian tes itu, pemilik senjata api hanya boleh menembaki target tanah liat. Apabila ingin berburu, pemilik senjata api mesti mendapatkan izin khusus tambahan.
Sementara itu, senjata api yang digunakan membunuh Abe diyakini adalah senjata api rakitan.
Estimasi tersebut disampaikan direktur Armament Research Services, sebuah firma spesialis investigasi senjata api, N.R. Jenzen-Jones.
Jenzen-Jones membandingkan senjata pembunuh Abe dengan senapan era Perang Sipil Amerika Serikat. Senapan seperti itu memiliki propelan yang dimuat secara terpisah dari proyektil peluru.
“Undang-undang senjata api di Jepang sangat restriktif. Jadi, saya kira, apa yang terjadi di sini, dengan apa (senjata) yang mungkin sebuah senjata muzzle-loading, bukan hanya upaya mengelakkan kontrol senjata api, melainkan juga kontrol ketat amunisi di Jepang,” kata Jenzen-Jones.
Sumber: Associated Press/Kompas.TV/Tribunnews.com/Kompas.com