TRIBUNNEWS.COM - Situasi Sri Lanka semakin memburuk di tengah krisis ekonomi, lalu diikuti kaburnya Presiden Gotabaya Rajapaksa.
Gotabaya Rajapaksa pada Rabu (13/7/2022), terbang menggunakan jet militer bersama istri dan dua pengawalnya tanpa memberikan surat pengunduran diri.
Lantas, seberapa buruk kondisi di Sri Lanka saat ini?
Dikutip dari NPR, pemerintah Sri Lanka berutang 51 miliar dolar AS dan tidak dapat membayar bunga atas pinjaman, terlebih tagihannya.
Pariwisata yang berperan penting dalam pertumbuhan ekonomi, kini tersendat akibat pandemi dan kekhawatiran tentang keamanan setelah serangan teror pada 2019.
Mata uang Sri Lanka pun telah jatuh 80 persen, membuat impor lebih mahal dan memperburuk inflasi yang sudah tidak terkendali, dengan harga makanan naik 57 persen, menurut data resmi.
Baca juga: PROFIL Gotabaya Rajapaksa, Presiden Sri Lanka yang Kabur, Berasal dari Keluarga Paling Berkuasa
Kementerian Keuangan Sri Lanka mengatakan negaranya hanya memiliki cadangan devisa yang bisa digunakan sebesar 25 juta dolar AS.
Padahal, untuk bertahan selama enam bulan mendatang membutuhkan enam miliar dolar AS.
Hasilnya, saat ini Sri Lanka di ambang kebangkrutan, dengan hampir tidak ada yang untuk mengimpor bensin, susu, gas untuk memasak, obat-obatan, bahkan kertas toilet.
Para ekonom mengatakan krisis ekonomi disebabkan karena faktor domestik, seperti salah urus selama bertahun-tahun dan korupsi.
Sebagian besar kemarahan publik tertuju pada Gotabaya dan saudaranya, mantan Perdana Menteri Sri Lanka Mahinda Rajapaksa.
Krisis ekonomi yang terjadi ini, menurut Program Pangan Dunia PBB, membuat sembilan dari 10 keluarga melewatkan makan atau sangat berhemat, sementara tiga juta menerima bantuan kemanusiaan darurat.
Perang Ukraina-Rusia turut memperbutuk harga makanan dan minyak lebih tinggi.
Saat ini, semakin banyak orang Sri Lanka mencari paspor untuk pergi ke luar negeri untuk mencari pekerjaan.
Singkatnya, orang-orang menderita dan putus asa untuk memperbaiki keadaan mereka.
Baca juga: Ditolak di Maladewa, Presiden Sri Lanka Kini Dikabarkan Berada di Negara Tetangga Indonesia
Presiden Kabur
Mengutip Reuters, situasi di Sri Lanka semakin parah dengan kaburnya Presiden Gotabaya Rajapaksa ke Maladewa, Rabu (13/7/2022).
Namun, ia ditolak di negara itu dan dalam penerbangan menuju Singapura, kata seorang sumber keamanan tingkat tinggi di Kolombo kepada CNN.
Gotabaya diperkirakan tiba di Bandara Changi pada Kamis (14/7/2022) malam, ungkap sumber itu.
Ia telah menunggu mendapatkan "jet pribadi" dari seorang anggota keluarga dekat di Kolombo, namun "tidak terwujud", tambah sumber tersebut.
Gotabaya dilaporkan meninggalkan Maladewa menggunakan "penerbangan Saudi".
CNN yakin sumber itu merujuk pada penerbangan Saudia 788, yang meninggalkan ibu kota Maladewa pada Kamis pukul 11.30 waktu setempat.
CNN telah menghubungi Kementerian Luar Negeri dan Saudia, tapi belum mendapat tanggapan.
Sementara itu, Gotabaya diharapkan mengundurkan diri sebelum Kamis berkahir.
"Diharapkan presiden akan mengirimkan pengunduran dirinya begitu dia mencapai tujuan akhir (Singapura)," kata para pejabat, dikutip dari AlJazeera.
Baca juga: Presiden Sri Lanka Gotabaya Rajapaksa Janji Mundur pada 13 Juli, tapi Malah Coba Kabur ke Singapura
Harapan Terakhir Sri Lanka
Masih dari NPR, berita utama baru-baru ini mengatakan Sri Lanka menaruh harapan terakhirnya pada Dana Moneter Internasional (IMF).
Pemerintah saat ini sedang dalam negosiasi dengan IMF mengenai rencana bailout dan PM Ranil Wickremesinghe mengatakan pada 22 Juni, dia mengharapkan kesepakatan awal dengan IMF pada akhir Juli.
Tapi, itu juga bergantung pada penggantinya dan pemerintahan baru nantinya.
Korupsi politik juga merupakan masalah; tidak hanya memainkan peran dalam negara yang menghambur-hamburkan kekayaannya, tetapi juga mempersulit penyelamatan keuangan apapun bagi Sri Lanka.
Para pemimpin Sri Lanka sepakat bahwa anggota parlemen akan memilih presiden baru pada 20 Juli, tetapi pada Selasa lalu masih berjuang untuk memutuskan susunan pemerintahan baru.
Anit Mukherjee, seorang ahli kebijakan dan ekonom di Pusat Pembangunan Global di Washington, mengatakan bantuan apa pun dari IMF atau Bank Dunia harus disertai dengan persyaratan yang ketat untuk memastikan bantuan itu tidak salah kelola.
Namun, Mukherjee mencatat bahwa Sri Lanka berada di salah satu jalur pelayaran tersibuk di dunia, sehingga membiarkan negara itu runtuh bukanlah suatu pilihan.
(Tribunnews.com/Pravitri Retno W)