TRIBUNNEWS.COM - Pada hari Sabtu (28/9/2024), Hizbullah mengonfirmasi bahwa pemimpinnya, Hassan Nasrallah, tewas dalam serangan udara Israel pada hari Jumat di pinggiran kota Beirut, Dahiyeh, lokasi markas besar kelompok tersebut.
Nasrallah telah memimpin Hizbullah selama lebih dari tiga puluh tahun, mengatur dan menggemborkan kampanyenya melawan Israel.
Kematiannya menjadi pukulan besar bagi Hizbullah.
Setelah ini, apa yang akan terjadi pada Hizbullah?
Akankah Iran melancarkan pembalasannya sendiri terhadap Israel?
Berikut pendapat para ahli dari Atlantic Council, organisasi nonpartisan yang menggerakkan kepemimpinan dan keterlibatan AS di dunia.
Kehilangan pemimpin Hizbullah bisa mempersulit pemilihan pengganti Nasrallah
Menurut Nicholas Blanford, peneliti senior di Program Timur Tengah di Atlantic Council, kematian Nasrallah akan memberikan pukulan telak bagi moral Hizbullah.
Ditambah lagi, Israel telah merusak infrastruktur militer kelompok itu dan menewaskan beberapa komandan utamanya.
Secara teknis, seperti yang terjadi segera setelah pembunuhan pendahulu Nasrallah, Abbas Musawi, pada tahun 1992, Dewan Syura yang memimpin partai itu harus bersidang dan memilih sekretaris jenderal baru.
Sosok yang selama ini dianggap sebagai favorit adalah Hashem Safieddine, kepala dewan eksekutif Hizbullah sekaligus sepupu Nasrallah.
Hizbullah adalah lembaga yang kuat dengan rantai komando yang solid, yang seharusnya memastikan keberlanjutan di tingkat kepemimpinan.
Baca juga: Netanyahu: Pembunuhan Sekjen Hizbullah Nasrallah adalah Kunci Israel Capai Tujuannya
Namun, faktor yang tidak diketahui adalah siapa di jajaran atas Hizbullah yang tewas bersama Nasrallah.
Jika pemimpin penting lainnya juga terbunuh, hal itu dapat mempersulit proses pemulihan seluruh organisasi, yang berpotensi membuat kelompok tersebut rentan terhadap langkah Israel selanjutnya.
Pertanyaan mendesak lainnya adalah apakah kematian Nasrallah akan memaksa Iran dan Hizbullah untuk mulai menggunakan sistem rudal berpemandu presisi yang lebih canggih.