TRIBUNNEWS.COM, WINA - Kepala Badan Intelijen dan Keamanan Austria (DSN) Omar Haijawi-Pirchner memperingatkan kemungkinan kerusuhan di negara itu di tengah kemungkinan krisis energi musim gugur ini.
"Kami belum melihat kerusuhan di jalanan. Tapi kebencian di internet jelas meningkat,” katanya memperingatkan dikutip Sputniknews, Kamis (28/7/2022).
“Setiap krisis berarti keputusasaan bagi sebagian orang pertama-tama dapat berubah menjadi tindakan verbal dan kemudian bahkan menjadi kekerasan," lanjut Haijawi-Pirchner kepada surat kabar Austria, Kronen Zeitung.
Ia menjawab pertanyaan apakah dinas keamanan memiliki perkiraan potensi kerusuhan di musim gugur atas latar belakang kemungkinan krisis energi.
Haijawi-Pirchner menyebut, dinas rahasia negaranya menghitung jumlah warga Austria yang berpartisipasi dalam konflik di Ukraina bisa mencapai dua digit.
Baca juga: Rusia Pangkas Pasokan Gas, Austria Operasikan Pembangkit Listrik Tenaga Batu Bara
Baca juga: Kanselir Austria Ancam Rebut Depot Gas Terbesar Rusia di Salzburg
Baca juga: Austria Tegaskan Mereka Netral, Belum Ingin Jadi Anggota NATO
"Kontra-intelijen mengetahui angka dua digit kecil," katanya menanggapi pertanyaan tentang berapa banyak orang Austria yang terlibat dalam aksi militer di Ukraina.
Layanan khusus baru Austria, sebuah divisi dari Kementerian Dalam Negeri, mulai bekerja Desember lalu sebagai hasil dari reformasi struktur setelah serangan teroris di Wina November 2020.
Austria termasuk negara Eropa yang menjatuhkan sanksi beruntun ke Rusia menyusul peperangan di Ukraina.
Austria juga masuk daftar negara yang tidak bersahabat di mata Rusia, dan berisiko tidak akan mendapatkan pasokan gas dan minyak dari Rusia.
Jerman Menuju Puncak Krisis
Negara lain yang sedang terguncang adalah Jerman. Negara industri terbesar di Eropa itu sedang menuju krisis besar energi.
Hal ini dikemukakan editor senior di salah satu surat kabar paling berpengaruh di negara itu, Die Welt.
“Tidak hanya harga gas mendekati rekor tertinggi, tetapi harga listrik khususnya menandakan tekanan,” Holger Zschaepitz, editor senior di meja ekonomi dan keuangan harian, menulis di Twitter.
Dalam apa yang dia sebut sebagai "grafik horor" yang dia posting dengan tweetnya, Zschaepitz menunjukkan harga listrik telah mencapai hampir €400 per megawatt jam pada pertukaran energi, atau €0,40 per kilowatt-jam.
Jika harga konsumen mencerminkan harga pasar seperti itu, orang Jerman akan membayar sekitar €0,80 per kilowatt-jam daripada €0,30 saat ini, termasuk pajak dan biaya.
Namun, peningkatan tajam seperti itu akan meledak secara sosial, saran Zschaepitz. Dalam situasi seperti ini, perusahaan energi tidak akan mampu lagi berproduksi secara kompetitif.
Harga listrik di Jerman dipengaruhi oleh harga gas alam, yang merupakan sumber dari 15 persen listrik negara, menurut statistik resmi.
Harga gas hampir empat kali lipat tahun ini, terutama karena menyusutnya aliran dari Rusia, pemasok utama benua itu.
Krisis harga telah menyebabkan nasionalisasi sebagian dari salah satu perusahaan pemasok energi terbesar di Jerman.
Pemerintah Jerman minggu lalu mengumumkan akan mengakuisisi 30 % saham di Uniper setelah perusahaan tersebut meminta bailout, dengan alasan “tekanan keuangan yang ekstrim” yang disebabkan oleh berkurangnya pengiriman gas alam Rusia.
Pengurangan aliran gas berarti bahwa alih-alih dapat sepenuhnya bergantung pada kontrak jangka panjangnya dengan harga tetap, Uniper baru-baru ini terpaksa membeli gas di pasar spot dengan harga yang jauh lebih tinggi untuk menutupi kekurangan.
Menurut laporan baru-baru ini oleh Bloomberg, perusahaan energi Eropa mengumpulkan utang untuk menutupi biaya yang melonjak, dengan kewajiban mereka dilaporkan mencapai lebih dari $1,7 triliun.(Tribunnews.com/RT/Spputniknews/xna)