Laporan Wartawan Tribunnews.com, Mikael Dafit Adi Prasetyo
TRIBUNNEWS.COM, KOLOMBO – Mantan presiden Sri Lanka, Gotabaya Rajapaksa akan kembali ke negara asalnya pada awal September mendatang.
Sebuah sumber mengatakan bahwa kepulangan Gotabaya Rajapaksa ke Sri Lanka terkait dengan biaya tinggalnya di Thailand.
Sebelumnya, Rajapaksa telah melarikan diri dari Sri Lanka pada 13 Juli setelah protes besar-besaran melanda Kolombo dan para demonstran yang marah dengan kehancuran ekonomi negara itu menyerbu kediaman dan kantor resminya.
Rajapaksa mengundurkan diri sebagai presiden Sri Lanka setelah tiba di Singapura. Kemudian, pada awal bulan Agustus dia memutuskan pindah ke Thailand.
Baca juga: Semalam, Mantan Presiden Sri Lanka Gotabaya Rajapaksa Tiba di Thailand Usai Tinggal ke Singapura
Media Sri Lanka telah melaporkan bahwa Rajapaksa bisa kembali pada hari Rabu (24/8), tetapi sumber lain mengatakan, kedatangannya telah ditunda karena pembicaraan berlanjut antara penguasa Sri Lanka Podujana Peramuna (SLPP) dan pemerintah mengenai keamanannya dan masalah lainnya.
"Dia pasti ingin kembali. Tapi keamanan adalah masalah utama dan intelijen telah menyarankan agar dia menunda kepulangannya," kata pejabat pemerintah Sri Lanka yang dikutip oleh Channel News Asia, Rabu (24/8/2022).
"Dia mungkin dapat kembali dalam dua minggu mendatang atau bahkan sebelum itu, jika pengamanan untuk keselamatannya dapat dijalankan." imbuhnya.
Sementara itu, sumber lain mengatakan bahwa tingginya biaya tinggal di Thailand merupakan faktor yang mendorong kepulangan Rajapaksa.
“Tagihannya sekarang telah mencapai beberapa ratus juta rupee karena sudah termasuk biaya untuk jet pribadi, suite presiden dan keamanan sepanjang waktu,” kata sumber itu.
Biaya tersebut sebagian besar ditanggung oleh beberapa pendukungnya.
Di sisi lain, Sekretaris Jenderal SLPP Sagara Kariyawasam mengatakan, partainya telah bertemu dengan Presiden Ranil Wickremesinghe untuk membahas kepulangan Rajapaksa.
“Kami sudah mengajukan permohonan agar kepulangannya difasilitasi secepatnya,” kata Kariyawasam.
Baca juga: Mantan Presiden Rajapaksa Disarankan Tidak Buru-buru Kembali ke Sri Lanka
Krisis Ekonomi Sri Lanka
Sri Lanka, negara berpenduduk 22 juta jiwa itu menghadapi krisis keuangan paling parah sejak kemerdekaan dari Inggris pada tahun 1948, akibat dari dampak pandemi COVID-19 dan salah urus ekonomi.
Sri Lanka juga tengah menghadapi hiperinflasi, dengan tingkat inflasi secara keseluruhan mencapai 60,8 persen, sementara inflasi makanan di bulan Juli jauh lebih tinggi, yakni sebesar 90,9 persen.