Laporan Wartawan Tribunnews, Fitri Wulandari
TRIBUNNEWS.COM, PORT MORESBY - Para pemimpin Papua Nugini mengadakan upacara pada Selasa waktu setempat untuk menghormati mendiang Ratu Elizabeth II dan menyatakan bahwa Raja Charles III sebagai kepala negara baru negara itu.
Dikutip dari laman ABC News, Selasa (13/9/2022), Gubernur Jenderal Bob Dadae dan Perdana Menteri (PM) James Marape bergabung dengan para pejabat tinggi dalam upacara di luar parlemen di ibu kota , Port Moresby.
Papua Nugini merupakan salah satu dari lima negara di Asia dan Pasifik dimana raja Inggris adalah kepala negara.
Mereka juga termasuk Australia, Selandia Baru, Kepulauan Solomon dan Tuvalu.
"Sebagai refleksi dari kehidupan yang dijalaninya, pelaksanaan tugas yang patut dicontoh sebagai kepala negara Papua Nugini, dalam hubungan inilah kita semua berkumpul di sini pagi ini untuk mengakui kepergiannya (Ratu Elizabeth II), untuk mengakui dan menyaksikan keĥnaikannya. Takhhta Raja Charles III," kata Marape.
Baca juga: Gejolak Referendum Kembali Muncul Setelah Ratu Elizabeth II Wafat, Kini Giliran Antigua dan Barbuda
Marape dan para pemimpin lainnya bertemu Charles pada Jumat lalu yang bertepatan dengan peringatan hari kemerdekaan ke-47 Papua Nugini.
Gejolak Referendum
Antigua dan Barbuda disebut akan memilih apakah akan menjadi negara republik atau tetap berada di bawah pemerintahan Kerajaan Inggris, setelah kematian Ratu Elizabeth II pada 8 September lalu.
Pernyataan ini disampaikan Perdana menteri (PM) negara itu, Gaston Browne.
Ia mengatakan referendum kemungkinan dapat dilakukan dalam waktu 3 tahun.
Namun dirinya menekankan bahwa langkah itu bukan merupakan tindakan permusuhan.
Dikutip dari laman BBC, Selasa (13/9/2022) ia memberikan tanggapan setelah Charles III dikukuhkan sebagai Raja dan kepala negara Karibia.
Browne menuturkan bahwa dirinya bermaksud untuk memperkenalkan referendum jika terpilih kembali sebagai perdana menteri tahun depan.
Baca juga: Alasan Pangeran Harry Dilarang Mengenakan Seragam Militer di Pemakaman Ratu Elizabeth II
Sebelumnya, Australia mengesampingkan pemungutan suara serupa dalam 4 tahun ke depan.
Kematian Ratu Eilzabeth II memang telah menyalakan kembali perdebatan monarki Australia dan PM Anthony Albanese yang terpilih pada Mei lalu adalah seorang republikan.
Kendati merupakan seorang Republikan yang memiliki misi untuk mendorong referendum bagi Australia, ia mengesampingkan jajak pendapat dalam masa jabatan pertamanya.
"Pertanyaan yang lebih besar tentang konstitusi kita bukanlah pertanyaan untuk periode saat ini. Ini adalah periode di mana kita berbagi kesedihan yang dirasakan begitu banyak orang Australia saat ini, menunjukkan rasa hormat dan kekaguman kita yang mendalam atas kontribusi Ratu untuk Australia," kata Albanese.
Baca juga: Tangguh dan Dicintai Rakyatnya, Ini 6 Teladan Kepemimpinan Ratu Elizabeth II
Perlu diketahui, selain Inggris, Raja Charles III menjabat sebagai kepala negara di 14 negara persemakmuran termasuk Antigua dan Barbuda, Australia, Bahama, Belize, Kanada, Grenada, Jamaika, Selandia Baru, Papua Nugini, Saint Kitts dan Nevis, Saint Lucia, Saint Vincent dan Grenadines, Kepulauan Solomon serta Tuvalu.
Namun, saat ini banyak negara persemakmuran yang kembali mempertimbangkan peran monarki, dengan Browne mengatakan bahwa menjadi negara Republik akan menandai 'langkah terakhir untuk menyelesaikan lingkaran kemerdekaan demi menjadi negara yang benar-benar berdaulat'.
Tahun lalu, Barbados mengambil sumpah Presiden pertamanya setelah sang Ratu dilengserkan sebagai kepala negara oleh parlemen negara itu.
Dame Sandra Mason, Gubernur Jenderal pulau itu yang menjabat sejak 2018, diangkat sebagai Presiden terpilih Barbados setelah pemungutan suara di parlemen.
Ia pun menjadi Presiden pertama Barbados saat usianya mencapai 72 tahun.
Lalu di Jamaika, Partai Buruh yang berkuasa mengatakan bahwa tujuan mereka adalah mengadakan referendum untuk menjadi Republik.