TRIBUNNEWS.COM - Pejabat pro-Rusia di empat wilayah Ukraina mengklaim hasil referendum menyebut ingin bergabung dengan Moskow.
Referendum tersebut dikecam oleh sebagai tipuan oleh pemerintah Ukraina dan pihak Barat.
Dengan tidak adanya pengakuan tersebut, pemungutan suara ini dipantau secara independen.
Pemungutan suara dilakukan di wilayah timur Donetsk dan Luhansk yang ingin memisahkan diri.
Sementara di wilayah selatan Kherson dan Zaporizhzhia yang diduduki Rusia, juga diorganisir.
Dikutip dari BBC, pengungsi yang tersebar di seluruh Rusia juga dapat memilih.
Baca juga: Presiden Vladimir Putin Berikan Kewarganegaraan Rusia pada Edward Snowden
Hasil sebagian dari pemungutan suara di sana menunjukkan mayoritas besar mendukung bergabung dengan Rusia.
Menanggapi hal tersebut, Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky mengatakan kepada Dewan Keamanan PBB, upaya Rusia mencaplok negaranya akan berarti "tidak ada yang perlu dibicarakan dengan Presiden Rusia ini".
"Lelucon di wilayah pendudukan ini bahkan tidak bisa disebut tiruan dari referendum," kata Zelensky.
Presiden menambahkan bahwa itu adalah upaya yang sangat sinis untuk memaksa orang-orang di wilayah pendudukan Ukraina untuk memobilisasi ke dalam tentara Rusia
Dikutip dari SCMP, Presiden Rusia, Vladimir Putin diperkirakan akan berbicara kepada parlemen Rusia tentang referendum pada hari Jumat (30/9/2022).
Baca juga: Rusia Peringatkan Barat, Jika Moskow Gunakan Nuklir Maka NATO Tak Bakalan Campur Tangan Lagi
Pemimpin Parlemen Rusia, Valentina Matviyenko mengatakan, anggota parlemen dapat mempertimbangkan undang-undang pencaplokan pada 4 Oktober.
Rusia meningkatkan peringatan bahwa mereka dapat menggunakan senjata nuklir untuk mempertahankan wilayahnya, termasuk tanah yang baru diperoleh.
"Situasi akan berubah secara radikal dari sudut pandang hukum, dari sudut pandang hukum internasional, dengan semua konsekuensi yang sesuai untuk perlindungan daerah-daerah itu dan memastikan keamanan mereka," kata juru bicara Kremlin Dmitry Peskov, dikutip dari SCMP.
Kantor berita yang dijalankan oleh administrasi pro-Kremlin di Donetsk dan Luhansk melaporkan bahwa hingga 99,23 persen orang memilih untuk bergabung dengan Rusia.
Angka ini disebut tidak biasa dalam sebuah pemungutan suara.
Baca juga: Pejabat Rusia: Putin Mengatakan pada Erdogan Bahwa Moskow Selalu Siap Berunding dengan Ukraina
Lebih Banyak Sanksi
Dikutip dari BBC, Menteri Luar Negeri Ukraina, Dmytro Kuleba meminta Uni Eropa untuk menjatuhkan sanksi lebih keras kepada Rusia.
"Kami membutuhkan respons yang sangat serius dan efektif dengan hal-hal spesifik yang akan memukul ekonomi Rusia."
"Semakin lembut reaksi terhadap apa yang disebut referendum, semakin besar motivasi Rusia untuk meningkatkan dan mencaplok wilayah lebih lanjut," ujar Kuleba.
Inggris menanggapi apa yang disebut referendum dengan sanksi baru yang menargetkan pejabat tinggi Rusia yang terlibat dalam menegakkan pemungutan suara.
Baca juga: UPDATE Perang Rusia-Ukraina: Putin akan Umumkan Aksesi 4 Wilayah Pendudukan di Pidato Parlemen
Menteri Luar Negeri AS, Antony Blinken menegaskan kembali bahwa Barat tidak akan pernah mengakui aneksasi Rusia.
Menteri Luar Negeri Prancis Catherine Colonna, yang pada Selasa mengunjungi Ukraina, menggambarkan pemungutan suara itu sebagai "penyamaran".
Sementara itu, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China, Wang Wenbin mengatakan "kedaulatan dan integritas teritorial semua negara harus dihormati", ketika menjawab pertanyaan wartawan tentang apa yang disebut referendum.
Presiden Putin membela referendum, dengan mengatakan mereka dirancang untuk menghentikan penganiayaan etnis Rusia dan penutur bahasa Rusia oleh Ukraina.
"Menyelamatkan orang-orang di semua wilayah di mana referendum ini diadakan adalah di atas pikiran kita dan fokus perhatian seluruh masyarakat dan negara kita," kata Putin dalam sambutan yang disiarkan televisi.
(Tribunnews.com/Whiesa)