Harga bensin AS mencapai rekor lebih dari $5 per galon (Rp78.146) di musim panas ini.
Harga telah menurun, tetapi tetap 60 persen lebih tinggi daripada ketika Biden menjabat di tengah konsumsi minyak yang kuat dan kendala pada pasokan global.
Tarif BBM yang tinggi menjadi sorotan bagi Demokrat menjelang pemilihan paruh waktu minggu depan, di mana partai berkuasa ini berisiko kehilangan kendali atas kedua kamar Kongres.
Setiap undang-undang untuk mengenakan pajak baru pada industri minyak menghadapi peluang tipis, terutama di Senat yang terpecah.
Anggota parlemen Demokrat sebelumnya melontarkan gagasan windfall tax atas keuntungan perusahaan minyak, namun mendapat sambutan dingin dari industri minyak.
American Petroleum Institute menggambarkan pernyataan presiden sebagai "retorika kampanye" dan mengatakan kenaikan pajak dapat menjadi bumerang.
"Perusahaan minyak tidak menetapkan harga, pasar komoditas global yang menentukan," kata Mike Sommers, kepala eksekutif American Petroleum Institute.
"Meningkatkan pajak atas energi Amerika menghambat investasi dalam produksi baru, yang merupakan kebalikan dari apa yang dibutuhkan."
"Ada diskusi di AS tentang industri kami yang mengembalikan sebagian keuntungan kami langsung ke rakyat Amerika. Faktanya, itulah yang kami lakukan dalam bentuk dividen triwulanan kami," ujar kepala eksekutif Exxon, Darren Woods pada Jumat.
Komentar Biden kali ini adalah yang paling tajam terhadap industri migas yang mendapat keuntungan besar sebagai imbas dari pandemi dan gangguan pasokan minyak Rusia setelah invasi ke Ukraina.
Perusahaan-perusahaan migas berdalih keuntungan besar mereka adalah hasil dari lonjakan harga minyak dan gas alam setelah invasi Rusia ke Ukraina mengacak-acak pasar energi global.
Sementara itu, Saudi Aramco melaporkan kenaikan laba 39 persen kuartal ketiga tahun ke tahun pada Selasa (1/11/2022).
Baca juga: Harga Minyak Dunia Anjlok 1,12 Persen, Imbas Kembali Meningkatnya Kasus Covid-19 di China
Kenaikan laba ini didorong oleh harga minyak yang lebih tinggi yang sebagian besar disebabkan oleh invasi Rusia ke Ukraina, lapor Guardian.
Pengumuman itu muncul ketika kartel produsen minyak OPEC+ akan menerapkan pengurangan produksi yang telah memicu kemarahan AS.
Washington menilai langkah ini sama dengan "menyelaraskan dengan Rusia" dalam konflik tersebut.
Laba bersih raksasa energi itu mencapai $42.4bn, naik dari $30.4bn selama periode yang sama tahun lalu, dan "terutama didorong oleh harga minyak mentah yang lebih tinggi dan volume yang terjual," katanya dalam pengajuan dengan bursa saham Saudi.
(Tribunnews/Ika Nur Cahyani)