Pernyataan itu muncul di tengah perkembangan bergejolak terpisah di sekitar Korea Utara dan Iran, menunjukkan semakin luasnya cakupan tantangan internasional yang dihadapi pemerintahan Biden.
Pada Selasa lalu, Korea Utara kembali menembakkan rudal dan roket.
Satu dari puluhan rudal yang diluncurkan itu mendarat di dekat perairan Korea Selatan.
Ini menjadi pertama kalinya senjata Korut mendarat sangat dekat dengan Korsel sejak pembagian Semenanjung Korea pada tahun 1945.
Sebagai balasannya, Seoul melesatkan rudal udara-ke-permukaan di utara.
Kemudian pada Rabu (3/11/2022), Pyongyang kembali meluncurkan tiga rudalnya dengan salah satunya diduga rudal balistik antarbenua (ICBM).
Jepang ikut "panas" dengan peluncuran rudal Korea Utara tersebut.
Pyongyang mengaku rudal-rudalnya itu merupakan bentuk peringatan kepada Korsel yang tengah melakukan latihan militer dengan AS.
Korea Utara menjadi salah satu dari sedikit negara yang secara terbuka mendukung tindakan Rusia di Ukraina.
Hubungan antara Pyongyang dan Moskow berkembang menyusul runtuhnya pembicaraan damai Kim Jong Un bersama mantan Presiden AS Donald Trump dan mantan Presiden Korea Selatan Moon Jae-in pada tahun 2018.
Diplomasi antara AS dan Iran juga gagal diraih, ketika Trump meninggalkan kesepakatan nuklir multilateral yang memberikan keringanan sanksi kepada Republik Islam sebagai imbalan untuk mengekang program nuklirnya.
Sementara Biden mulai merundingkan masuknya kembali Washington ke dalam perjanjian pada April tahun lalu, putaran negosiasi berturut-turut tidak menghasilkan resolusi.
Kini para pejabat AS tidak hanya fokus pada upaya untuk memulihkan perjanjian nuklir, tetapi juga atas protes nasional karena kematian seorang wanita muda dalam tahanan polisi pada bulan September, serta dugaan Iran memasok drone kamikaze ke Rusia.
Pejabat Iran telah membantah melakukan kesalahan atas kematian Mahsa Amini.