TRIBUNNEWS.COM, KAIRO – Hubungan politik AS-Arab Saudi kini dianggap mencapai titik terendah dalam sejarah.
Kemunculan Putra Mahkota Mohammad bin Salman pada 2017, dan terpilihnya Joe Biden sebagai Presiden AS pada 2021 menjadi klimaks atas ketegangan AS-Saudi.
Sikap dan tindak-tanduk serta manuver politik Pangeran MBS telah memunculkan kegalauan di Washington dan Gedung Putih.
Analisis ini dikemukakan Dr Amira Abou el-Fetouh dalam kolomnya di situs Middle East Monitor, Jumat (16/12/2022).
Amira sampai memunculkan pertanyaan apakah Pangeran MBS ini akan menyudahi perjanjian khusus Saudi-AS yang dimulai sejak berakhirnya Perang Dunia II.
Baca juga: Presiden Joe Biden Tekan Saudi, Pangeran MBS Ingatkan Penyiksaan di Irak
Baca juga: AS Lindungi Pangeran MBS dari Gugatan atas Pembunuhan Jurnalis Jamal Khashoggi
Baca juga: Pangeran Nayef Dikurung Lalu Dipaksa Sumpah Setia ke Pangeran MBS
Pada 14 Februari 1945, Presiden AS Franklin D Roosevelt kembali dari Konferensi Yalta di mana dia bertemu PM Inggris Winston Churchill dan Joseph Stalin dari Uni Soviet.
Raja Abdulaziz Al-Saud, pendiri Kerajaan Arab Saudi, dipanggil untuk bertemu Roosevelt secara pribadi.
Pertemuan berlangsung di kapal perang USS Quincy di Terusan Suez. Pakta Quincy ditandatangani kedua pemimpin itu sebagai hasil pertemuan tersebut.
Bagian terpenting dari perjanjian itu adalah AS akan memberikan perlindungan tanpa syarat kepada keluarga Al-Saud yang berkuasa.
Imbalannya, jaminan pasokan energi (minyak) Arab Saudi ke AS untuk jangka waktu 60 tahun.
Selama masa kepresidenan George W Bush pada 2005, perjanjian tersebut diperbarui untuk 60 tahun lagi.
Sepanjang periode yang panjang ini, semuanya berjalan baik dan hubungan kedua negara baik sampai Pangeran Mohammed bin Salman Al-Saud menjadi Putra Mahkota Arab Saudi sejak 2017.
Joe Biden masuk ke Gedung Putih sebagai Presiden AS pada Januari 2021 dan benar-benar meremehkan pemimpin de facto Kerajaan Saudi Arabia itu.
Sepanjang kampanye pemilihannya, Biden bersumpah akan menghukum Pangeran MBS.
CIA terang-terangan menyebutkan pangeran itu terlibat langsung pembunuhan jurnalis Washington Post, Jamal Khashoggi, di Konsulat Saudi di Istanbul pada 2018.
Itulah mengapa Joe Biden sengaja memilih untuk tidak menghubungi sang pangeran setelah ia terpilih sebagai Presiden AS.
Biden bersikeras hanya berbicara dengan Raja Salman, dengan syarat putranya tidak mendengarkan atau bergabung dalam diskusi.
Biden juga menghapus Houthi di Yaman dari daftar kelompok teroris, yang semakin membuat marah Pangeran MBS, yang menanggapinya dengan mendekatkan diri ke Rusia dan China.
Pemimpin Saudi itu kemudian menolak meningkatkan produksi minyak ketika diminta oleh AS untuk melakukannya.
Maksud AS, peningkatan produksi minyak itu akan jadi alternatif untuk minyak dan gas Rusia setelah serangan Moskow ke Ukraina.
Beberapa media global melaporkan Pangeran MBS menolak menerima telepon dari Biden yang diatur oleh Gedung Putih.
Menurut Wall Street Journal, pangeran muda itu sampai meneriaki Penasihat Keamanan Nasional AS, Jake Sullivan, selama percakapannya.
Lebih-lebih ketika nama Khashoggi disebutkan. Pangeran menunjukkan dia tidak ingin membahas masalah itu lagi.
Pangeran MBS mengatakan AS dapat melupakan permintaannya untuk menggandakan produksi minyak.
Posisi kuat Pangeran MBS ini mendorong Joe Biden mengunjungi Riyadh, dan memaksanya bersikap lebih lunak dari sumpahnya di awal yang ingin menjadikan Saudi sebagai negara pariah.
Kunjungan itu merupakan perubahan strategis yang membuat AS kembali menaruh minat di Timur Tengah setelah Washington mengatakan ingin pergi dan dan melihat ke Timur Jauh.
Ini adalah salah satu dampak geostrategis dari perang Rusia-Ukraina dan ancaman terhadap keamanan dan energi di Eropa.
"Kami tidak akan pergi begitu saja dan meninggalkan kekosongan untuk diisi oleh China, Rusia atau Iran," jelas Biden dalam kunjungannya ke Jeddah.
Dalam konteks ini, pernyataan Biden terbaca sebagai nasib Timur Tengah dan rakyatnya seolah-olah hanya ditentukan persaingan antar kekuatan besar.
Pangeran MBS terlihat dingin selama kunjungan Joe Biden ke negaranya, yang membuat Presiden AS itu kecewa.
Dia terkejut saat Arab Saudi setuju dengan Rusia di dalam OPEC+ tentang pengurangan yang signifikan dalam kuota produksi minyak, daripada peningkatan untuk mengendalikan harga.
Keputusan itu bersamaan waktunya dengan pemilihan Kongres paruh waktu di AS. Jelas keputusan itu pukulan pribadi yang ditujukan kepada Biden oleh pemimpin Saudi.
Tantangan lain bagi Joe Biden adalah kunjungan Presiden China Xi Jinping ke Riyadh atas undangan sang Putra Mahkota Saudi.
Pangeran MBS juga ditunjuk sebagai perdana menteri menggantikan ayahnya. Penerimaan Presiden China Xi Jinping di Saudi jauh lebih mewah daripada yang diberikan kepada Joe Biden.
Jabat tangan antara Bin Salman dan Xi berlangsung setidaknya 10 detik, seperti yang ditunjukkan oleh para komentator. Biden harus puas dengan jabat tangan cepat dengan Pangeran MBS.
Perjanjian kemitraan strategis yang ditandatangani Arab Saudi dan China juga semakin membuat marah AS.
Gedung Putih mengatakan kunjungan Xi Jinping ke Riyadh adalah bagian dari upaya China untuk memperluas pengaruhnya ke seluruh dunia.
Meski Washington menyatakan kunjungan tersebut bukanlah kejutan, reaksi terhadapnya terlihat jelas.
Situasi itu akan menimbulkan masalah dalam hubungan antara Amerika dan China serta sekutu lainnya, termasuk Arab Saudi.(Tribunnews.com/MEMO/xna)