Laporan Koresponden Tribunnews.com, Richard Susilo dari Jepang
TRIBUNNEWS.COM, TOKYO - Pada saat ini dalam sejarah Jepang sedikitnya 130 hukuman mati telah dilaksanakan.
Namun 4 orang telah dibebaskan termasuk kasus terakhir mantan petinju profesional Iwao Hakamada, tahanan luar berada di rumahnya sambil dirawat karena sakit, setelah 48 tahun dipenjara, menunggu proses persidangan lebih lanjut dalam usia 86 tahun.
"Setelah 347 tahun berjalan, hukuman mati di Jepang sempat berubah menjadi penjara seumur hidup pada tahun 818. Sejak itu, tidak ada eksekusi yang dilakukan di Jepang. Hukuman mati bukanlah tradisi Jepang kuno. Namun kemudian hukuman mati dieksekusi kembali oleh pemerintah Jepang karena opini masyarakat lebih dari 80 persen menghendaki adanya hukuman mati. Rata-rata tujuh setengah tahun bagi terpidana mati untuk menunggu sejak mereka menerima hukuman hingga eksekusi terakhir mereka," ungkap sumber Tribunnews.com seorang pengacara Jepang.
Selain itu, Ryo Masaki, yang menjabat sebagai kepala Biro Pidana Kementerian Kehakiman Jepang pada 1940-an, sempat memimpin gerakan untuk menghapuskan hukuman mati dengan merumuskan Perintah Perlakuan Progresif terhadap Tahanan sebagai "tahanan juga manusia." Bahkan RUU untuk menghapuskan hukuman mati telah diperkenalkan dua kali di Majelis Nasional Jepang, pada tahun 1956 dan 1965. Semua itu tetap gagal, eksekusi hukuman mati tetap berjalan.
Bahkan belakangan ini gerakan seperti itu menjadi langka, dan tidak ada pejabat senior Kementerian Kehakiman Jeoang yang berbicara di depan umum tentang penghapusan hukuman mati.
Selain itu, Masaru Okunishi dari kasus Nabari, yang didukung oleh JFBA, dibebaskan oleh Pengadilan Distrik Tsu pada tingkat pertama, tetapi dibatalkan sampai mati oleh Pengadilan Tinggi Nagoya untuk mengajukan banding, dan keputusan untuk memulai persidangan ulang kemudian dikeluarkan, tetapi dibatalkan karena keberatan oleh jaksa penuntut, dan dia meninggal pada Oktober 2015 saat meminta persidangan ulang. Dia saat ini sedang mencari persidangan ulang anumerta.
Selanjutnya, dalam kasus Iizuka, tes tipe DNA yang dilakukan dengan metode yang sama pada saat yang sama dengan kasus Ashikaga, yang dibebaskan dalam persidangan ulang, dianggap sebagai bukti kuat bersalah, dan hukuman mati dikonfirmasi dan dieksekusi pada Oktober 2008. Pengadilan ulang anumerta saat ini sedang menunggu, tetapi ada kemungkinan eksekusi atas tuduhan palsu.
Dalam sistem peradilan pidana Jepang, ada risiko tinggi interogasi jangka panjang dan panjang selama periode penahanan sebelum dakwaan, yang menghasilkan pengakuan palsu.
Meskipun revisi KUHAP tahun 2016 mengizinkan beberapa kejahatan, pencatatan semua interogasi dan seluruh proses, kehadiran pengacara pembela saat interogasi, dan sistem penemuan penuh belum terwujud. Dalam sistem peradilan pidana Jepang, risiko tuduhan palsu harus dinilai pada tingkat tinggi.
Pemerintah telah menjelaskan bahwa sistem hukuman mati di Jepang didukung oleh opini publik. Ini mungkin didasarkan pada fakta bahwa dalam jajak pendapat publik yang dilakukan oleh Kantor Kabinet pada November 2014, 80,3% responden mengatakan bahwa hukuman mati tidak dapat dihindari.
Demikian pula November 2019 tentang sistem hukuman mati, 80,8% responden menyatakan bahwa hukuman mati mendapat dukungan masyarakat.
Mai Sato, seorang kriminolog di Inggris, mempelajari survei opini publik tentang hukuman mati di Jepang dan secara empiris mengungkapkan bahwa banyak orang tidak memiliki pendapat yang kuat yang mendukung retensi hukuman mati, dan bahwa dukungan untuk hukuman mati berubah ketika diberikan informasi tentang hukuman mati.
Hukum pidana Jepang sebenarnya mengatur bahwa “hukuman mati harus dilaksanakan dalam waktu enam bulan sejak hukuman”, namun pada kenyataannya ketentuan ini hampir tidak pernah dilaksanakan.
Statistik dari The Japan Times menunjukkan bahwa dibutuhkan rata-rata tujuh setengah tahun bagi terpidana mati untuk menunggu sejak mereka menerima hukuman hingga eksekusi terakhir mereka. Selama periode ini, dari persidangan hingga eksekusi, sistem peradilan Jepang harus mengeluarkan biaya yang sangat besar.
"Semua biaya adalah pajak rakyat dan rakyat umumnya menghendaki segera eksekusi hukuman mati agar tidak buang uang rakyat," tambah pengacara itu lagi.
Pada saat yang sama, eksekusi hukuman mati membutuhkan persetujuan dari Menteri Kehakiman Jepang, namun sebagian besar dari mereka tidak bersedia bertindak sebagai "algojo" karena pertimbangan agama atau politik lainnya, sehingga menunda penandatanganan perintah eksekusi sampai Menteri Kehakiman berikutnya menjabat.
Misalnya, Menteri Kehakiman di saat kabinet Junichiro Koizumi, Seiken Sugiura, menolak untuk menandatangani sertifikat eksekusi hukuman mati karena ia percaya pada agama Buddha. Perilakunya juga dikritik oleh Koizumi Junichiro , yang dituduh "tidak mampu membedakan antara pandangan pribadi dan retorika resmi".
Dengan demikian eksekusi hukuman mati di Jepang tangan terakhir dilakukan oleh Menteri Kehakiman. Terhukum dan keluarga baru diberitahu akan dilakukan hukuman mati satu atau paling lama biasanya 2 hari sebelum eksekusi hukuman mati dilakukan.
Menarik pula di Jepang ada legenda kalau 10 menit telah dieksekusi hukuman mati dan dinyatakan mati, tetapi kemudian terhukum hidup kembali, maka dia akan diberikan nama keluarga baru dan dikeluarkan lewat jalan belakang, tidak boleh ada yang mengetahuinya.
"Itu hanya legenda saja, secara hukum tidak akan mungkin terjadi. Meskipun demikian tidak sedikit terhukum eksekusi mati di Jepang yang percaya akan hal tersebut, berusaha bangkit kembali setelah 10 menit dinyatakan mati," ungkapnya lebih lanjut.
Sementara itu bagi para pecinta Jepang dapat bergabung gratis ke dalam whatsapp group Pecinta Jepang dengan mengirimkan email ke: info@jepang.com Subject: WAG Pecinta Jepang. Tuliskan Nama dan alamat serta nomor whatsappnya.