TRIBUNNEWS.COM - Penguasa militer Myanmar, Min Aung Hlaing, mengatakan junta militer akan mengadakan pemilihan umum pada Agustus 2023.
Min Aung Hlaing berjanji untuk mengadakan pemilihan yang bebas dan adil setelah keadaan darurat saat ini dicabut.
Pada Februari 2023, militer Myanmar memperpanjang keadaan darurat selama enam bulan dan mengakui tidak cukup menguasai wilayah untuk pemungutan suara.
Ia juga mendesak negara-negara asing untuk mendukung rencana junta ke demokrasi, dikutip dari Reuters.
Min Aung Hlaing menilai, kecaman global atas pemerintah militernya didasari oleh narasi palsu dari Pemerintah Persatuan Nasional bayangan (NUG).
Baca juga: Pengungsi Myanmar yang Melarikan Diri Pada 1991 Kini Aktif Membantu Komunitas Australia
Sebelum Pemilu, Junta Myanmar akan Perangi Oposisi
Selain itu, Min Aung Hlaing mengatakan akan terus memerangi oposisinya, yang dianggap teroris.
Sejak kudeta militer di Myanmar pada tahun 2021, pemberontak etnis mendukung kelompok anti junta untuk memerangi militer.
Pemilihan umum itu akan dilakukan jika situasi di Myanmar dianggap sudah stabil.
"Ketenangan dan stabilitas sangat penting sebelum pemilihan apa pun dapat dilanjutkan," kata Min Aung Hlaing dalam pidatonya di parade hari angkatan bersenjata tahunan, Senin (27/3/2023), dikutip dari Al Arabiya.
"Militer dan pemerintah perlu mengambil tindakan terhadap kelompok teroris yang mencoba menghancurkan negara dan membunuh orang," lanjutnya.
"Kedaulatan Myanmar harus dihormati dan tindakan hukum akan diambil dengan tegas terhadap teroris, dengan darurat militer akan diberlakukan di area penting yang perlu dikendalikan," lanjutnya, dikutip dari Al Jazeera.
Baca juga: Militer Myanmar Bantah Lakukan Genosida di Kompleks Biara Buddha yang Tewaskan 22 Orang
Kudeta Militer di Myanmar
Pada 1 Februari 2021, militer Myanmar mengambil alih kekuasaan melalui kudeta, yang tiba-tiba menghentikan transisi menuju demokrasi.
Militer menuduh Presiden terpilih Aung San Suu Kyi melakukan penipuan dalam pemilu 2020.
Namun, pengamat independen telah menolak klaim tersebut.
Setelah kudeta, sejumlah besar orang turun ke jalan untuk protes massal, dikutip dari The Guardian.
Militer menanggapi dengan kekerasan mematikan dan melakukan kampanye teror pada orang yang dicurigai mendukung demokrasi.
Lebih dari 15.500 orang telah ditangkap hingga September 2022, jumlahnya terus meningkat.
Baca juga: Indonesia-Singapura Akan Dorong Implementasi Five Points Consensus Selesaikan Isu Myanmar
Dalam beberapa kasus, kelompok anti-kudeta didukung oleh organisasi etnis bersenjata yang telah berperang melawan militer selama beberapa dekade.
Kantor hak asasi manusia PBB mengatakan pada awal tahun 2023 ini, tindakan militer mungkin merupakan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Hampir 700.000 orang terpaksa meninggalkan rumah mereka karena konflik.
Perekonomian Myanmar mengalami krisis, dan layanan publik telah runtuh.
Aung San Suu Kyi telah ditahan sejak kudeta dan dijatuhi hukuman 20 tahun penjara.
Kasus-kasus lebih lanjut terhadapnya, yang dapat menyebabkan hukuman penjara beberapa dekade lagi, sedang berlangsung.
(Tribunnews.com/Yunita Rahmayanti)
Berita lain terkait Myanmar