"Segala sesuatu yang dapat melemahkan AS, memecah belah Barat, dan membuat negara-negara lain lebih dekat dengan Cina adalah baik untuk Xi," kata seorang profesor ilmu politik di Hong Kong Baptist University, Jean-Pierre Cabestan.
"Oleh karena itu, perjalanan Macron dilihat di Beijing sebagai kemenangan besar," lanjutnya.
Seorang profesor hubungan internasional di Nanyang Technological University Singapura, Li Mingjiang mengatakan para pemimpin Tiongkok) percaya bahwa sekarang adalah waktunya bagi Tiongkok untuk membuat rencana strategisnya.
"Hasil yang berpotensi baik adalah melemahkan aliansi Amerika. Jadi itulah mengapa kita melihat upaya-upaya yang cukup berat yang dilakukan oleh Beijing untuk mencoba menstabilkan dan meningkatkan hubungan dengan negara-negara Eropa, dan juga mencoba meningkatkan dan memperkuat kerja sama dengan negara-negara berkembang," tambahnya.
Yang tak banyak diprediksi banyak pihak, beberapa pekan lalu China berhasil mendamaikan dua negara Timur Tengah yakni Iran dan Arab Saudi yang selama ini dikenal musuh bebuyutan.
China berada di balik rekonsiliasi itu, bukan AS, Rusia, atau Eropa. Padahal, sebelum ini tidak terdengar dan tidak terlihat di permukaan tentang manuver China yang berusaha mendamaikan Iran-Arab Saudi itu.
Baca juga: Menlu Arab Saudi dan Iran Bertemu di Beijing, China Jadi Mediator Hubungan Diplomatik
Kekuatan China Tak Terbendung
China sering disebut-sebut sebagai raksasa ekonomi dunia baru.
AS awalnya mendominasi namun saat China masuk, kekuatannya seolah tak terbendung lagi.
Reformasi ekonomi sejak 1978, dianggap membuat China jadi negara adidaya.
Bahkan dilansir CNBC, pada 2010, China mengambil alih posisi Jepang sebagai negara dengan perekonomian terbesar kedua di dunia.
Beberapa ekonom lantas memprediksi ekonomi China akan melesat melampaui AS pada 2030.
Sejarah Reformasi Ekonomi China
Kesuksesan China ini berawal diawali dengan serangkaian reformasi ekonomi di era Deng Xiaoping (1978-1989).