Laporan Wartawan Tribunnews, Fitri Wulandari
TRIBUNNEWS.COM, ASWAN - Tiga tahun lalu, Aamira Elamin memutuskan meninggalkan rumah dan semua harta miliknya di Washington DC, Amerika Serikat (AS) selama lebih dari 15 tahun, hanya untuk kembali ke Sudan.
Ia datang dengan harapan baru di negara Afrika Utara itu, wanita berusia 40 tahun itu tiba setelah pemberontakan 2019 yang menggulingkan Presiden Omar al-Bashir setelah hampir tiga dekade berkuasa.
Elamin, yang namanya telah diubah untuk melindungi identitasnya, berprofesi sebagai dokter dan ingin mengabdikan diri kembali pada negaranya, di mana dirinya bersekolah di sekolah yang didanai oleh pemerintah.
Namun harapan itu pupus saat kudeta pada 2021 menggagalkan transisi rapuh Sudan menuju demokrasi, dan kini telah sepenuhnya 'menguap' sejak negara itu terjun ke dalam perang terbuka antara tentara dan paramiliter Rapid Support Forces (RSF) pada 15 April lalu.
Baca juga: Satu Bus Evakuasi Tahap Kedua WNI di Sudan Alami Kecelakaan, 3 Orang Luka-Luka
Dikutip dari laman Al Jazeera, Kamis (27/4/2023), Elamin, warga yang memiliki dua kewarganegaraan yakni Sudan dan AS, terpaksa melarikan diri dari pertempuran itu.
Ia merasa dikhianati oleh janji para jenderal yang bertikai tentang pemerintahan sipil dan oleh upaya evakuasi pemerintah AS.
"Saya datang ke Khartoum seperti tiga tahun lalu dengan sebuah kontainer yang dikirim melalui lautan dengan meninggalkan semua yang saya miliki di Washington, dan saya meninggalkan Sudan (hanya dengan membawa beberapa tas) sekarang," kata Elamin kepada Al Jazeera saat mengungsi ke kota Aswan di Mesir.
Air matanya menetes, ia menjelaskan ribuan orang Sudan telah melarikan diri melalui jalan darat ke negara tetangga di utara.
Keputusan hengkang ini bukan merupakan perkara mudah bagi wanita yang lahir dan besar di Khartoum, ibu kota Sudan itu.
Elamin menghabiskan sebagian besar hidupnya hingga ia berusia 25 tahun di bawah rezim al-Bashir.
Baca juga: Kemlu: Evakuasi WNI Tahap Kedua Sedang Dilaksanakan dari Khartoum ke Port Sudan
Terlepas dari ketidakstabilan selama waktu itu, ia mengakui bahwa pemerintahan itu lebih 'dapat dikendalikan' daripada pertempuran yang terjadi baru-baru ini dan telah menewaskan hampir 460 orang serta melukai ribuan lainnya.
"Ini seperti pembunuhan dan pengeboman yang sebenarnya dan penembakan terjadi secara nyata di jalan-jalan Khartoum. Kami belum pernah menyaksikan hal seperti itu," tegas Elamin terkait kekerasa itu.
Padahal ia menggambarkan ibu kota Sudan itu selama ini telah dianggap sebagai salah satu tempat berlindung yang aman bagi para pengungsi dan orang-orang terlantar dari negara tetangga.