Sejak meninggalkan kebijakan tersebut, China berupaya mendorong keluarga untuk memiliki anak kedua atau bahkan ketiga, namun upaya ini hanya menunjukkan sedikit keberhasilan.
Biaya mahal dalam membesarkan anak-anak di banyak kota di China sering disebut sebagai penyebabnya.
Ini mencerminkan sikap pada sebagian besar Asia Timur, di mana angka kelahiran turun drastis.
Tingkat kelahiran China pada tahun lalu hanya 6,77 kelahiran per 1.000 orang, angka ini turun dari tingkat 7,52 kelahiran pada 2021 dan menandai tingkat kelahiran terendah dalam catatan.
Sejak 2021, pemerintah daerah telah meluncurkan langkah-langkah untuk mendorong agar masyarakatnya memiliki lebih banyak bayi, termasuk pengurangan pajak, cuti melahirkan yang lebih lama dan subsidi perumahan.
Baca juga: Tingkat Populasi Anjlok, China Luncurkan Proyek Pernikahan Era Baru dan Budaya Melahirkan
Pada Oktober tahun lalu, Presiden Xi Jinping mengatakan bahwa pemerintah akan memberlakukan kebijakan pendukung lebih lanjut.
"Laki-laki China terus melebihi jumlah perempuan dengan 722,06 juta menjadi 689,69 juta," kata biro itu.
Ini merupakan hasil lainnya dari 'kebijakan satu anak' dan preferensi tradisional agar keturunan laki-laki meneruskan nama keluarga.
Penurunan populasi dapat membawa tantangan Produk Domestik Bruto (PDB)
Terakhir kali China diyakini telah mencatat penurunan populasi adalah selama Lompatan Jauh ke Depan pada akhir 1950-an.
Ini terjadi saat 'dorongan bencana' Presiden terdahulu China Mao Zedong untuk pertanian kolektif dan industrialisasi menghasilkan kelaparan besar-besaran yang menewaskan puluhan juta orang.
Biro itu mengatakan bahwa orang China usia produktif yakni 16 hingga 59 tahun saat ini berjumlah 875,56 juta, terhitung 62 persen dari populasi nasional.
Sementara mereka yang berusia 65 tahun ke atas berjumlah 209,78 juta, terhitung 14,9 persen dari total populasi.
Statistik juga menunjukkan peningkatan urbanisasi di negara itu hingga saat ini sebagian besar merupakan kawasan pedesaan.