Saat ini, Iran memproduksi uranium mendekati tingkat senjata setelah runtuhnya kesepakatan nuklirnya dengan kekuatan dunia.
Instalasi terowongan bawah tanah itu mempersulit upaya Barat untuk menghentikan Iran dari kemungkinan pengembangan bom atom karena diplomasi atas program nuklirnya tetap terhenti.
"Penyelesaian fasilitas semacam itu akan menjadi skenario mimpi buruk yang berisiko memicu spiral eskalasi baru,” kata Kelsey Davenport, direktur kebijakan nonproliferasi di Asosiasi Pengendalian Senjata yang berbasis di Washington.
“Mengingat seberapa dekat Iran dengan bom, ia hanya memiliki sedikit ruang untuk meningkatkan programnya tanpa melanggar garis merah AS dan Israel. Jadi pada titik ini, eskalasi lebih lanjut meningkatkan risiko konflik,” lanjutnya.
Konstruksi Iran di situs nuklir Natanz dilakukan lima tahun setelah Presiden AS Donald Trump yang menjabat saat itu, secara sepihak menarik AS dari perjanjian nuklir dengan Iran, dikutip dari Al Jazeera.
Perjanjian itu membatasi pengayaan uranium Iran hingga kemurnian 3,67 persen.
Persentase itu cukup kuat hanya untuk menggerakkan pembangkit listrik sipil, dan menjaga persediaannya hanya sekitar 300 kilogram (660 pon).
Sejak berakhirnya perjanjian nuklir, Iran mengatakan sedang memperkaya uranium hingga 60 persen.
Di sisi lain, inspektur baru-baru ini menemukan Iran telah menghasilkan partikel uranium yang 83,7 persen murni.
Persentase itu hampir mencapai ambang 90 persen uranium untuk tingkat senjata.
Pada Februari, inspektur internasional memperkirakan persediaan Iran lebih dari 10 kali lipat dari kesepakatan era Obama, menurut kepala Badan Energi Atom Internasional.
Ia memperkirakan, dengan uranium yang diperkaya cukup untuk memungkinkan Iran membuat "beberapa" bom nuklir.
(Tribunnews.com/Yunita Rahmayanti)
Berita lain terkait Iran VS AS