“Saya lelah karena kurang tidur dan ketakutan,” kata wanita berusia 29 tahun itu.
Baca juga: Kisah suster Katolik yang menolak tinggalkan Gaza demi merawat korban serangan Israel
“Saya harus menjaga dua anak saya yang lain, tapi sekolah penampungan ini tidak memiliki air jernih."
"Saya terpaksa minum air asin, dan saya tidak tahan, dan itu juga mempengaruhi tekanan kehamilan saya."
Asraf ingin tahu apakah dirinya dan janinnya baik-baik saja, apalagi setelah teror yang dialaminya.
Dia mencoba menghubungi pusat kesehatan PBB di kamp Shati berkali-kali melalui telepon, tetapi tidak berhasil tersambung satu kali pun.
Tidak ada nutrisi atau perawatan yang tepat untuknya, akibatnya dia selalu merasa lelah dan mual.
Sekolah sangat penuh sesak dan bising, dan dia tidak bisa memejamkan mata lebih dari 30 menit.
“Di sini juga ada tiga ibu hamil, dan kondisinya mirip dengan saya,” kata Asraf.
“Dua hari lalu, salah satu dari mereka kehilangan kesadaran, dan kami mencoba membantunya.”
Khawatir Keguguran
Beberapa wanita yang hamil melalui program bayi tabung, khawatir akan keguguran.
Baca juga: Al Jazeera Kutuk Serangan Israel yang Tewaskan Keluarga Jurnalis
Laila Baraka (30) berhasil hamil dengan bayi tabung setelah bertahun-tahun mencoba untuk memiliki anak kedua.
“Sepanjang hari, saya takut dengan suara bom, dan pada malam hari, suaranya semakin intens dan menakutkan,” katanya.
“Saya memeluk putra saya yang berusia lima tahun erat-erat sambil mencoba menelan rasa takut saya, namun saya tidak bisa."
"Apa yang kami dengar bahkan membuat batu ketakutan, bukan hanya manusia.”