Sebagai informasi, DK PBB menggelar rapat terkait kondisi Gaza dan menghasilkan resolusi penghentian perang antara Hamas dan Israel pada Jumat (8/12/2023) lalu.
Dari 15 anggota DK PBB, 13 anggota menyatakan setuju untuk resolusi gencatan senjata di Gaza, satu negara yaitu Inggris abstain, dan negara terakhir yaitu AS menggunakan hak vetonya untuk menolak resolusi tersebut.
Alhasil, resolusi gencatan senjata pun gagal tercapai.
Padahal, dikutip dari Associated Press (AP), sekutu AS yaitu Jepang dan Prancis telah menyetujui resolusi DK PBB untuk melakukan gencatan senjata di Gaza.
Baca juga: Profesor Terkemuka di Gaza Tewas dalam Serangan Udara, Sempat Ucap Tak Punya Tujuan untuk Pergi
Di sisi lain, beberapa negara lewat kementerian luar negeri masing-masing yaitu Mesir, Otoritas Palestina, Yordania, Arab Saudi, Qatar, dan Turki telah berada di Washington DC untuk bertemu dengan Menlu AS, Antony Blinken.
Kembali lagi terkait voting di DK PBB, diplomat negara Arab menegaskan bahwa masalah di Gaza sepenuhnya adalah tanggung jawab AS.
Hal ini bertujuan agar AS dapat menahan sikap Israel untuk tidak terus menerus menyerang Gaza.
Sementara dari pihak AS lewat Wakil Duta Besar-nya, Robert Wood, mengungkapkan resolusi gencatan senjata itu tidak seimbang.
Robert menyebut ketika aksi militer Israel dihentikan maka kemungkinan Hamas untuk terus memerintah Gaza akan 'menanam benih perang berikutnya.'
"Hamas tidak mempunyai keinginan untuk melihat perdamaian yang bertahan lama, untuk melihat solusi dua negara," kata Wood sebelum pemungutan suara.
"Oleh karena itu, meskipun Amerika Serikat sangat mendukung perdamaian yang langgeng, di mana baik warga Israel maupun Palestina dapat hidup dalam damai dan aman, kami tidak mendukung seruan untuk segera melakukan gencatan senjata," ujar Robert.
(Tribunnews.com/Yohanes Liestyo Poerwoto)
Artikel lain terkait Konflik Palestina vs Israel