TRIBUNNEWS.COM - Hujan deras mengguyur bagian selatan Gaza pada hari Rabu (13/12/2023).
Hujan membawa lumpur, banjir serta penyakit bagi ribuan pengungsi Palestina.
Akibat serangan Israel, sebagian besar warga Palestina mengungsi dan tinggal di tenda darurat di sudut-sudut Jalur Gaza.
“Kami tidak membawa pakaian musim dingin dari Kota Gaza ketika kami pergi lebih dari sebulan yang lalu,” kata Ramzi Mohammed (31), kepada The Washington Post melalui panggilan telepon.
Mohammed kini tinggal di Rafah bersama istri dan tiga anaknya.
“Satu-satunya hal yang kami lakukan di malam hari, yakni berpelukan agar hangat,” katanya.
Baca juga: 10 Foto Situasi Kamp Pengungsian Warga Palestina di Gaza Kala Diguyur Hujan Lebat
"Tidak ada selimut yang dijual di pasar."
“Tetapi bahkan jika sudah tersedia, saya tidak mampu membelinya.”
Mengutip The Washington Post, model komputer menyimulasikan bahwa curah hujan 10 hingga 35 milimeter turun di Gaza saat zona bertekanan rendah menarik udara lembab dari pedalaman Mediterania.
Laporan dari Badan Meteorologi Israel menunjukkan bahwa angka tersebut terjadi di sebagian besar pantai Mediterania.
Ashkelon, sebuah kota Israel di utara Gaza, menerima 15,9 mm curah hujan.
Hujan yang terjadi di Israel dan Gaza biasanya terjadi antara bulan November dan Maret, yang umumnya dianggap sebagai musim hujan di wilayah tersebut.
Hujan dapat memperburuk masalah sistem layanan kesehatan yang sudah rapuh, ditambah dengan penyebaran penyakit dan kepadatan penduduk.
PBB menyebut situasi seperti ini sebagai “bencana kesehatan masyarakat.”
“Tempat penampungan sudah lama melebihi kapasitas maksimalnya, orang-orang mengantre berjam-jam hanya untuk menggunakan toilet – satu toilet tersedia untuk ratusan orang,” kata Lynn Hastings, koordinator kemanusiaan PBB untuk wilayah Palestina.
“Hal ini hanya menyebabkan krisis kesehatan.”
Baca juga: Israel Mulai Banjiri Terowongan di Gaza, Biden: Mereka Bilang Tak Ada Sandera, tapi Saya Tidak Yakin
Hastings mengatakan perintah evakuasi Israel membahayakan operasi bantuan.
“Mencoba memberikan makanan kepada orang-orang yang berada di Rafah sangatlah sulit,” tambahnya.
Mahmoud Aziz (36), merupakan salah satu warga Palestina yang melarikan diri ke selatan menuju Rafah atas perintah Israel.
Dia sekarang tinggal di satu gedung dengan sekitar 70 orang.
“Seluruh keluarga kami menderita diare yang sepertinya disebabkan oleh air yang kami minum, atau cuaca dingin,” katanya.
“Kami membiarkan jendela terbuka karena pemboman tersebut; kami takut terkena kaca kalau ada bom.”
Selama serangan darat di Gaza, Pasukan Pertahanan Israel (IDF) memerintahkan penduduk untuk pindah ke bagian selatan menuju Khan Younis dan Rafah untuk berlindung.
Perang tersebut telah menewaskan sedikitnya 18.000 warga Palestina dan melukai 50.000 lainnya, menurut Kementerian Kesehatan Gaza.
Di wilayah Khan Younis, yang dulu dianggap aman, kini menjadi lokasi pertempuran paling sengit.
Sekitar 1,9 juta orang di Gaza – atau 90 persen populasi wilayah tersebut, menurut data PBB – telah mengungsi.
Baca juga: Majelis Umum PBB Loloskan Resolusi Gencatan Senjata Kemanusiaan di Gaza
Banyak di antara mereka yang kini tinggal di tenda-tenda yang ditutupi selimut atau pakaian apa pun yang bisa mereka temukan.
Israel akan Tetap Melanjutkan Serangan
Sementara itu, Israel menegaskan kembali bahwa mereka akan melanjutkan perangnya di Jalur Gaza “dengan atau tanpa dukungan internasional”, Middle East Eye melaporkan.
Pernyataan itu dikeluarkan sehari setelah Presiden AS Joe Biden mengejutkan banyak orang dengan mengatakan bahwa sekutnya itu melakukan “pengeboman tanpa pandang bulu” terhadap wilayah kantong yang terkepung.
Sebuah jajak pendapat baru menunjukkan bahwa dukungan terhadap Hamas di kalangan warga Palestina, termasuk mereka yang berada di Jalur Gaza yang terkepung, meningkat.
Sekitar 90 persen warga Palestina menginginkan Presiden Otoritas Palestina (PA) Mahmoud Abbas mengundurkan diri.
Jajak pendapat yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Kebijakan dan Survei Palestina menggarisbawahi tantangan yang dihadapi AS dalam mendorong Otoritas Palestina untuk memimpin visi pasca-perang mengenai Gaza.
Ismail Haniyeh, pemimpin politik Hamas, mengatakan di TV bahwa pengaturan apa pun di Gaza yang tidak melibatkan Hamas adalah “ilusi dan fatamorgana”.
(Tribunnews.com, Tiara Shelavie)