Memang benar, Presiden Mesir Abdel Fattah el-Sisi mengambil setiap langkah yang mungkin untuk meningkatkan hubungan dengan Israel karena keyakinannya bahwa Tel Aviv memainkan peran penting, bersama Arab Saudi dan UEA, dalam meyakinkan pemerintahan Obama agar tidak keberatan dengan kudeta yang dipimpinnya pada tahun 2013.
Arab Saudi juga sedang dalam proses merundingkan kesepakatan dengan Israel untuk menormalisasi hubungan mereka dengan imbalan pakta pertahanan khusus AS.
Karena pelanggaran berat terhadap hukum hak asasi manusia internasional, pemerintah Arab tidak akan menghadapi Israel di hadapan ICJ atau ICC untuk menghindari tuntutan serupa.
Meskipun Arab Saudi dan Mesir telah menentang AS dalam beberapa tahun terakhir mengenai isu-isu seperti produksi minyak OPEC dan hubungan dengan Tiongkok dan Rusia, keduanya tidak bersedia melakukan hal tersebut dalam hal-hal yang berkaitan dengan konflik Israel-Palestina karena mereka yakin hal ini akan menjadi sebuah konflik "garis merah" dalam prospek Amerika.
Catatan buruk mengenai hak asasi manusia di sebagian besar negara Arab memberikan penjelasan lain atas keengganan mereka untuk bergabung dengan Afrika Selatan dalam kasusnya melawan Israel.
Mereka khawatir bahwa menghadapi Israel sebelum Mahkamah Internasional (ICJ) dapat berakibat dibawanya Israel atau salah satu sekutunya ke Mahkamah Internasional (ICJ) atau ICC.
Baik Arab Saudi maupun Mesir, dan bahkan sebagian besar negara-negara Arab, dapat dituduh melakukan berbagai jenis pelanggaran hak asasi manusia. Mesir memenjarakan puluhan ribu politisi dan aktivis karena tuduhan yang dibuat-buat oleh sistem hukum yang korup.
Selain itu, pihak berwenang Mesir dituduh oleh banyak aktivis dan organisasi hak asasi manusia membunuh, menahan dan memaksa pengungsi Sinai setelah menghancurkan ratusan rumah dengan kedok memerangi terorisme.
Arab Saudi juga melakukan tindakan keras terhadap aktivis, reformis, dan penentangnya. Ribuan orang ditahan secara sewenang-wenang tanpa pengadilan yang layak, beberapa di antaranya dijatuhi hukuman berat hanya karena sebuah tweet.
Sementara Rudia mengatakan, Holocaust yang dilakukan Nazi Jerman terhadap orang-orang Yahudi seharusnya tidak bisa membuat Israel, negara mayoritas Yahudi, menjadi kebal hukum.
"Israel tidak boleh berpikir bahwa penderitaan orang-orang Yahudi selama Perang Dunia II memberikan mereka kebebasan dalam mengambil kebijakan luar negeri, khususnya ketika menyangkut permusuhan di Gaza," kata Menteri Luar Negeri Rusia, Sergei Lavrov pekan lalu.
Dalam konferensi pers itu, Sergei Lavrov kembali menegaskan dukungannya terhadap pembentukan negara Palestina.
"Kegagalan selama puluhan tahun untuk melakukan hal ini adalah salah satu alasan utama ketidakstabilan di Timur Tengah dan ketegangan antara Palestina dan Israel," tambahnya, dikutip dari TASS.
Menteri Luar Negeri tersebut mencatat Rusia segera mengutuk serangan Hamas terhadap Israel pada 7 Oktober 2023.