Laporan Wartawan Tribunnews.com, Mikael Dafit Adi Prasetyo
TRIBUNNEWS.COM, JERUSALEM – Arab Saudi bersama Mesir, Yordania dan Otoritas Palestina (PA) mengadakan pertemuan tertutup pekan lalu membahas masa depan Gaza setelah perang Israel dengan militan Hamas berakhir.
Pertemuan dilangsungkan di Riyadh, ibukota Arab Saudi, dan bertindak sebagai tuan rumah adalah enasihat Keamanan Nasional Saudi Musad Al-Aiban dan dihadiri Direktur Intelijen Umum Palestina Majed Faraj, Direktur Intelijen Mesir Abbas Kamel dan Direktur Intelijen Yordania Ahmed Hosni.
Menurut sebuah sumber, mereka juga membahas cara-cara di mana “Otoritas Palestina yang diperbarui” dapat mengambil bagian dalam pengelolaan Jalur Gaza.
Israel pun mendapat bocoran mengenai isi bahasan dalam pertemuan tersebut. “Israel diberitahu tentang pertemuan tersebut dan isinya oleh beberapa peserta,” kata seseorang yang mengetahui masalah tersebut.
Pihak Saudi, Mesir dan Yordania menegaskan kepada kepala intelijen Palestina bahwa PA harus melakukan reformasi yang memungkinkan pembaruan jajaran pimpinan tinggi mereka.
Hal ini termasuk pengalihan kekuasaan tertentu dari Presiden PA Mahmoud Abbas kepada perdana menteri baru yang akan ditunjuk.
Soal Gencatan Senjata Israel vs Hamas di Gaza
Saat Arab Saudi, Mesir, Yordania, dan Otoritas Palestina (PA) mengadakan pertemuan tertutup, beberapa pihak juga sedang membahas rencana gencatan senjata dan pembebasan sandera di Gaza.
Upaya gencatan senjata tersebut saat ini tengah dibahas bersama oleh Amerika Serikat, Mesir dan Qatar.
Baca juga: Hamas Inginkan Gencatan Senjata Permanen di Gaza Jika Negosiasi Pembebasan Sandera Dimulai
Perdana Menteri Qatar Sheikh Mohammed bin Abdulrahman Al Thani mengungkapkan bahwa negosiasi gencata senjata berlangsung dengan baik.
“Kami berharap dapat menyampaikan proposal gencatan senjata kepada Hamas dan membawa mereka ke tempat di mana mereka terlibat secara positif dan konstruktif dalam proses tersebut,” kata Al-Thani.
Proposal tersebut salah satunya mengharuskan perempuan dan anak-anak yang disandera untuk dibebaskan terlebih dahulu, dan bantuan juga akan memasuki Jalur Gaza yang terkepung.
Meski begitu, Hamas menegaskan, mereka hanya menginginkan terwujudnya gencatan senjata permanen di Gaza alias tidak gencatan senjata yang setengah-setengah.
“Pertama-tama kita berbicara tentang gencatan senjata yang lengkap dan komprehensif, dan bukan gencatan senjata sementara,” kata Taher al-Nunu, pejabat senior Hamas, seraya menambahkan bahwa setelah pertempuran berhenti “detail selanjutnya dapat didiskusikan” termasuk pembebasan sandera.