TRIBUNNEWS.COM - Amerika Serikat (AS) sudah memulai melancarkan serangan udaranya ke wilayah Irak dan Suriah pada Jumat (2/2/2024).
Serangan AS ini sebagai bentuk pembalasan atas kematian tiga tentara di Tower 22 di Yordania pada Minggu (28/1/2024) lalu.
Komando Pusat AS (CENTCOM) mengatakan sebanyak 85 target telah menjadi sasaran serangan pesawat berawak dan tak berawak.
Fasilitas yang diserang termasuk pusat operasi komando dan kontrol, pusat intelijen, tempat penyimpanan senjata, dan fasilitas lain yang terhubung dengan milisi atau Pasukan Quds IRGC.
Gedung Putih mengaku sudah menghubungi pemerintah Irak sebelum melakukan serangan udara.
Pernyataan Gedung Putih ini muncul setelah militer Irak menuduh Washington melanggar kedaulatan negaranya.
"Kami sudah memberi tahu pemerintah Irak sebelum serangan terjadi," kata juru bicara Dewan Keamanan Nasional Gedung Putih, John Kirby, dikutip dari Al Jazeera.
Sebelumnya, Panglima angkatan bersenjata Irak, Yehia Rasool mengutuk keras serangan AS terhadap negaranya.
Rasool memperingatkan akan adanya konsekuensi bencana bagi negara dan sekitarnya.
"Ini (serangan AS) akan membawa konsekuensi yang berbahaya bagi keamanan dan stabilitas Irak dan kawasan," kata Rasool dalam sebuah pernyataan, dikutip dari Arab News.
"Serangan ini merupakan pelanggaran terhadap kedaulatan Irak, melemahkan upaya pemerintah Irak, dan merupakan ancaman yang akan menyeret Irak dan wilayah tersebut ke dalam konsekuensi yang tidak diinginkan," lanjutnya.
Baca juga: 18 Militan Pro-Iran Tewas usai Serangan Balasan AS Hantam Pangkalan di Suriah dan Irak
Tak Ingin Berkonflik dengan Iran
Gedung Putih bersikeras Amerika Serikat tidak ingin berperang dengan Iran.
Meski melakukan serangan udara terhadap Korps Garda Revolusi Islam (IRGC) dan kelompok bersenjata yang berafiliasi, AS bersikeras tak ingin membuka konflik dengan Iran.
"Kami tidak mencari konflik dengan Iran," kata juru bicara Dewan Keamanan Nasional John Kirby, dikutip dari Al Jazeera.