TRIBUNNEWS.COM - Prancis bergabung dengan China untuk mengutuk rencana Israel melancarkan serangan darat terhadap kota Rafah di Gaza selatan.
Sikap Prancis tersebut menambah tanda-tanda bahwa kekuatan Eropa telah menjauhkan diri dari AS mengenai isu-isu utama global.
Dilansir SCMP, kedua negara mengeluarkan pernyataan bersama pada hari Senin (6/5/2024), setelah pertemuan antara Presiden China Xi Jinping dan Presiden Prancis Emmanuel Macron di Paris.
Mereka menegaskan kembali "kebutuhan mutlak" untuk melindungi warga sipil di Gaza di tengah meningkatnya konflik.
"Kedua kepala negara menentang serangan Israel terhadap Rafah, yang akan menyebabkan bencana kemanusiaan berskala lebih besar, dan mereka juga menentang relokasi paksa warga sipil Palestina," kata pernyataan itu, menurut kantor berita China, Xinhua.
Amerika Serikat (AS) memang mengatakan pihaknya tidak akan mendukung operasi militer di Rafah.
Tetapi, Menteri Luar Negeri AS, Antony Blinken, sebelumnya menyatakan bahwa penentangan itu bersyarat, mengingat karena kurangnya rencana untuk memastikan warga sipil tidak dirugikan.
"Kami tidak bisa, tidak akan mendukung operasi militer besar-besaran di Rafah jika tidak ada rencana efektif untuk memastikan warga sipil tidak dirugikan dan kami belum melihat rencana seperti itu," katanya setelah pertemuan dengan Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, pekan lalu.
Pada hari Selasa (7/5/2024), Israel mengambil alih perbatasan penting Rafah yang merupakan titik keluar masuk antara Gaza dan Mesir.
Semalam sebelumnya, serangkaian serangan menghujani kota tersebut, bahkan ketika Hamas menyetujui proposal gencatan senjata.
Israel mengatakan bahwa persyaratan tersebut jauh dari tuntutan penting Israel.
Baca juga: Persiapan Hadapi Serangan Musuh, Xi Jinping Rombak Pasukan Militer China
Dalam 10 poin pernyataan bersama mereka mengenai Timur Tengah, China, dan Prancis menekankan bahwa prioritas utama adalah gencatan senjata yang berkelanjutan sambil menyerukan pembebasan semua sandera segera dan tanpa syarat.
Pernyataan ini juga berbeda dengan pendekatan AS, yang selama ini fokus pada sandera yang ditahan oleh kelompok militan Hamas, termasuk warga negara Amerika.
Namun, serupa dengan AS, China dan Prancis menyerukan dimulainya kembali proses politik untuk menerapkan "solusi dua negara".