TRIBUNNEWS.COM - Militer Israel mengaku terus melakukan operasi di beberapa daerah di Rafah timur.
Bahkan pasukan Israel dilaporkan terlibat dalam pertempuran jarak dekat dengan pejuang Hamas.
Menurut pernyataan militers, selama hari terakhir, jet tempur Israel juga menyerang seluruh Gaza tengah dan utara, mencapai total 40 sasaran.
Dikatakan jet tempur dan helikopter serang Israel telah digunakan dalam operasi melawan pejuang Palestina.
“40 sasaran teroris dihancurkan di seluruh Jalur Gaza selama beberapa hari terakhir, termasuk di Rafah selatan," terang militer Israel, Al Jazeera melaporkan.
Sejumlah daerah yang diserang pesawat-pesawat tempur adalah lokasi di mana roket dan granat berpeluncur roket ditembakkan ke wilayah Israel dan perbatasan Karem Abu Salem (Kerem Shalom) dengan Gaza.
"Jet tempur juga menyerang sasaran di lingkungan Zeitoun Kota Gaza dan pesawat tempur serta helikopter tempur menyerang sasaran di wilayah tengah wilayah Palestina," kata militer dalam serangkaian unggahan di media sosial.
Gelombang serangan terbaru Israel di Gaza telah menewaskan banyak warga sipil, termasuk beberapa anak-anak yang rumahnya diserang di kamp Jabalia di Gaza tengah.
Israel mulai mengintensifkan serangan terhadap kota tersebut pada hari Senin (6/5/2024) kemarin.
UNRWA mengatakan 110.000 warga Palestina telah meninggalkan Rafah.
Badan PBB tersebut menambahkan bahwa ke mana pun mereka pergi, mereka menghadapi ancaman serangan Israel yang terus berlanjut, yang telah menghantam Gaza dari utara ke selatan selama tujuh bulan.
Baca juga: Gempuran Israel Ubah Rafah Jadi Bak Kota Hantu, 80.000 Pengungsi Kabur Evakuasi Diri
“Tidak ada tempat yang aman di Jalur Gaza dan kondisi kehidupan sangat buruk,” kata UNRWA, seraya menyerukan gencatan senjata segera.
Laila al-Kafarna adalah satu dari puluhan ribu warga Palestina yang melarikan diri dari Rafah minggu ini ketika pasukan dan tank Israel masuk lebih jauh ke kota tersebut.
Ini adalah keenam kalinya keluarganya mengungsi selama perang.
“Kami terus berpindah dari satu tempat ke tempat lain,” kata al-Kafarna kepada Al Jazeera sambil menggendong bayinya.
“Anak ini lahir saat perang. Apa salahnya?," ucapnya.
“Mereka memindahkan kami dari Kota Gaza dan menyuruh kami pergi ke selatan,"
"Setelah itu, mereka menyuruh kami pergi ke Khan Younis," tuturnya.
"Setelah itu kami sampai di Nuseirat. Setelah Nuseirat ke Deir el-Balah. Dan kemudian mereka membawa kami ke Rafah. Mereka bilang itu tempat yang aman. Tapi kenyataannya, itu tidak aman,"terangnya.
Kritis di Fasilitas Medis
Kantor media pemerintah di Gaza mendesak badan-badan internasional agar segera memasok bahan bakar ke Rumah Sakit Martir al-Aqsa.
Pihak administrasi Rumah Sakit Martir al-Aqsa baru saja memperingatkan bahwa bahan bakar yang dibutuhkan sudah semakin menipis, dan hanya cukup untuk bertahan dua hari.
Baca juga: Pengamat Perang: Hamas Aktif di Luar Rafah dan Bertempur secara Efektif di Jalur Gaza Utara
"Kami menyerukan kepada semua organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan lembaga internasional untuk segera memasok bahan bakar ke Rumah Sakit Martir Al-Aqsa sebelum terlambat," kata fasilitas medis tersebut dalam sebuah pernyataan.
"Dan kami menyerukan intervensi segera dan mendesak untuk memasok bahan bakar ke semua rumah sakit dan merehabilitasi serta memulihkannya sebelum terjadi bencana kemanusiaan yang bisa membunuh ribuan orang," urainya.
Ia menambahkan bahwa mereka menganggap Israel, Amerika Serikat (AS) dan semua otoritas terkait bertanggung jawab penuh atas "bencana atau krisis nyata", di Gaza.
Gaza telah sepenuhnya terputus dari bantuan sejak 7 Mei, ketika Israel mengambil alih perbatasan Rafah dan memindahkan pasukan ke kota di selatan.
Dengan berkurangnya persediaan bahan bakar dan air, layanan bantuan bisa terpaksa ditutup total dalam beberapa hari, bisa dibilang akan menyebabkan lebih banyak keputusasaan di wilayah kantong yang dilanda perang tersebut.
Badan-badan PBB mengatakan bahwa berkurangnya stok makanan dan bahan bakar dapat memaksa operasi bantuan terhenti dalam beberapa hari di Jalur Gaza karena penyeberangan utama tetap ditutup.
Penangguhan ini dapat memaksa rumah sakit untuk tutup dan menyebabkan lebih banyak malnutrisi, mereka memperingatkan.
"Situasi di Gaza telah mencapai tingkat darurat yang belum pernah terjadi sebelumnya," kata Kepala Sub-kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan di Gaza, Georgios Petropoulos kepada wartawan dalam sebuah pengarahan.
Jet tempur, pesawat tak berawak menyerang gedung-gedung di Rafah
Hamish Young, dari UNICEF mengatakan ada lebih dari 100.000 orang telah meninggalkan Rafah.
Saat ini semakin banyak orang yang meninggalkan Rafah, terutama dari bagian tengah kota, serta ke arah barat.
Baca juga: Delegasi Israel-Hamas Tinggalkan Kairo, Perundingan Gencatan Senjata Berakhir Tanpa Kesepakatan
Selama dua hari terakhir, militer Israel telah mengirimkan SMS, melakukan panggilan telepon, dan menyebarkan selebaran yang memperingatkan masyarakat agar tidak tinggal di kota Rafah.
Meskipun faktanya mereka menyatakan operasinya terbatas di bagian timur kota Rafah.
"Di lapangan, kami melihat perluasan operasi militer. Menara perumahan dan fasilitas umum di seluruh kota Rafah menjadi sasaran langsung pesawat F-16 dan drone penyerang," lapor koresponden Al Jazeera.
Negara Palestina
Pada Kamis (9/5/2024) kemarin, Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa (UE), Josep Borrell mengatakan kalau Spanyol dan Irlandia bakal mengakui Negara Palestina pada21 Mei 2024 mendatang.
Dikutip dari Arab News, Perdana Menteri Spanyol, Pedro Sanchez bulan Maret kemarin mengatakan jika Spanyol dan Irlandia, bersama Slovenia serta Malta, setuju untuk mengambil langkah pertama menuju pengakuan Negara Palestina bersama Israel.
Mereka memandang solusi dua negara sebagai hal yang penting untuk perdamaian permanen.
Stasiun penyiaran nasional Irlandia RTE mengatakan pada hari Kamis bahwa Spanyol, Irlandia, Slovenia dan Malta telah menunggu pemungutan suara di PBB dan sedang mempertimbangkan pengakuan bersama pada tanggal 21 Mei.
Ketika ditanya di stasiun radio lokal Spanyol, RNE, apakah tanggal 21 Mei negara-negara tesebut akan mengakui Negara Palestina, Borrell menjawab "Ya".
"Ini adalah tindakan simbolis yang bersifat politis," ucap Borrell.
"Lebih dari sekedar negara, mereka mengakui keinginan negara tersebut untuk ada," katanya, seraya menambahkan bahwa Belgia dan negara-negara lain mungkin akan mengikuti jejaknya.
(Tribunnews.com, Andari Wulan Nugrahani)