TRIBUNNEWS.COM – Israel menggunakan senjata buatan Amerika Serikat (AS) untuk menyerang kamp pengungsi di Kota Rafah, Jalur Gaza, pada hari Minggu, (26/5/2024).
Kesimpulan itu muncul setelah media arus utama di AS, CNN, menganalisis video yang diambil dari tempat kejadian dan ulasan dari pakar senjata.
Serangan Israel itu turut memicu kebakaran. Setidaknya ada 45 warga Palestina yang tewas dan lebih dari 200 lainnya terluka.
Penggunaan senjata AS oleh Israel itu bertolak belakang dengan narasi yang digaungkan oleh AS.
AS belakangan ini getol menolak operasi militer Israel di Rafah. Di samping itu, AS juga meminta adanya gencatan senjata di Gaza.
Beberapa pekan lalu AS dengan terang-terangan berujar bakal menghentikan pengiriman senjata ke Israel.
Namun, NBC News melaporkan bahwa Negara Adidaya itu ternyata masih memasok sejumlah senjata kepada Israel. Laporan itu didasarkan pada pernyataan dua pejabat AS.
Sekitar tiga minggu lalu AS mengirimkan senjata yang meliputi senjata untuk menyerang dan bertahan.
AS adalah salah satu dari sembilan negara yang memutuskan menolak resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa yang disponsori oleh negara-negara Arab dan Palestina.
Sebelum Rafah didera oleh invasi darat Israel, kota ditinggali oleh sekitar 1,3 juta pengungsi Palestina.
Invasi Israel itu menimbulkan banyak kecaman dari masyarakat internasional, badan PBB, badan kemanusiaan. Banyak pihak yang mendesak Israel untuk menghentikan invasinya.
Baca juga: Anggota Kabinet Perang Israel Sebut Netanyahu Menaruh Ilusi Palsu atas Serangan Rafah
Di sisi lain, Presiden AS Joe Biden belum juga mengubah kebijakannya perihal Israel. AS menganggap serangan Israel di Rafah belum “melewati batas”.
Namun, saat diwawancarai CNN awal bulan lalu, Biden mengklaim tidak akan mengizinkan senjata AS tertentu untuk digunakan dalam serangan di Rafah.
Bom GBU-39
Video geolokasi CNN memperlihatkan tenda-tenda terbakar setelah Israel menyerang “Kuwait Peace Camp 1” di Rafah.