TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menyusul meningkatnya ketegangan yang terjadi di Laut China Selatan antara Tiongkok dengan Amerika Serikat (AS), Koordinator Forum Pemuda Pasifik (FPP) M. Tahir Wailissa, mendesak pemerintah Indonesia tetap menjaga perdamaian di kawasan tersebut.
Tahir berharap ketegangan tersebut tidak membahayakan bagi wilayah perairan Indonesia, sehingga dapat menghindari konflik yang terjadi antara kedua negara besar tersebut.
“Kita dalam posisi non-blok. Politik Indonesia juga bebas aktif. Pemerintah Indonesia tak perlu memihak salah satu kubu, namun kita dalam posisi tetap mempertahankan wilayah kedaulatan," ujarnya, Jumat (31/5/2024).
“Kita menyadari bersama bahwa pasca perang dingin, dunia terbagi dalam dua blok, blok barat dan timur. Indonesia sendiri telah menentukan sikapnya untuk tidak berpihak pada blok manapun, itu perintah konstitusi," tambahnya.
Dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 pasal 2 sangat jelas mengenai kebijakan politik luar negeri. Bahwa, politik luar negeri Indonesia harus didasarkan pada ideologi bangsa.
“UUD 1945 kami kira jelas ya, bebas aktif itu didasarkan pada tujuan nasional bangsa Indonesia. Tentang kedaulatan kita, tentang kenetralan kita, tentang perdamaian dunia, tentang persaudaraan antar bangsa dan ideologi nasional kita. Itulah tujuan politik bebas aktif Indonesia," jelasnya.
Seperti diketahui, China terus bersikap agresif di Laut China Selatan karena faktor persaingan kekuatan dengan Amerika Serikat di Kawasan Asia-Pasifik.
Namun Beijing kerap berbenturan dengan Negara ASEAN, termasuk Indonesia yang berusaha mempertahankan Laut Natuna Utara sesuai dengan ketentuan Zona Ekonomi Eksklusif mereka.
Indonesia sendiri selama ini selalu menganggap klaim China tak sesuai dengan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Hukum Kelautan (UNCLOS) dan putusan Principal Component Analysis (PCA) pun mengamini pandangan tersebut.
Selain itu, meski bukan termasuk negara yang ikut mengklaim wilayah di LCS, AS selama ini berupaya menekankan kebebasan bernavigasi di jalur perdagangan bernilai 5 trilun dolar Amerika Serikat (AS) per tahun itu agar tetap dianggap sebagai perairan internasional.