TRIBUNNEWS.COM - Pemerintahan sayap kanan Israel tampaknya berada di ambang kehancuran.
Salah satu mitra koalisi PM Israel Benjamin Netanyahu, mengancam akan menarik diri dari pemerintahan jika Netanyahu tidak menuruti keinginan mereka.
Pemicu konflik utama yakni desakan dari Menteri Keamanan Nasional sayap kanan Itamar Ben-Gvir untuk bergabung dengan kabinet perang yang sekarang sudah dibubarkan.
Sementara itu, Netanyahu menuduh pemimpin partai Jewish Power itu membocorkan rahasia negara.
"Perdana Menteri Netanyahu memberi tahu Menteri Ben-Gvir satu hal sederhana: 'Siapa pun yang ingin menjadi mitra dalam tim konsultasi keamanan terbatas, harus membuktikan bahwa dia tidak membocorkan rahasia negara atau percakapan pribadi'," kata Likud, parpol pimpinan Netanyahu dalam sebuah pernyataan.
Ben-Gvir, yang pernah menyerukan agar perempuan dan anak-anak Palestina yang mendekati perbatasan Gaza harus ditembak, telah berulang kali dituduh membocorkan percakapan kabinet tertutup.
Hal itu menyebabkan hubungan sengit antara dia dan perdana menteri.
Setelah tuduhan terbaru dari Partai Likud, Jewish Power mengatakan mereka akan mendukung rancangan undang-undang yang memaksa para menteri untuk melakukan poligraf atau uji kebohongan.
Jewish Power mau melakukan hal itu selama aturan yang sama juga berlaku bagi mereka yang menggunakan alat pacu jantung.
Partai itu diduga merujuk pada Netanyahu, yang baru-baru ini memang memasang alat pacu jantung, The Times of Israel melaporkan.
Pertengkaran ini terjadi setelah Netanyahu menekan Ben-Gvir untuk mendukung 'Hukum Rabbi'.
Baca juga: Pemimpin Oposisi Benny Gantz Mengundurkan Diri, Netanyahu Resmi Bubarkan Kabinet Perang Israel
Hukum Rabbi diinisiasi oleh mitra ultra-Ortodoks Netanyahu, partai Shas, sebagai syarat untuk tetap berada dalam koalisi yang dipimpin Likud.
Undang-undang tersebut akan mengalihkan pengambilan keputusan soal penunjukan rabbi dari dewan lokal ke kementerian agama yang dipimpin Shas.
Menurut para kritikus, RUU itu akan menanamkan klientelisme untuk kepentingan partai ultra-Ortodoks.
Netanyahu membatalkan RUU tersebut dari pemungutan suara pada hari Rabu, karena ia tidak dapat memperoleh cukup pendukung, bahkan dari dalam Partai Likud miliknya sendiri.
Pemimpin Shas Arye Dery lantas menelepon perdana menteri dan mengancam akan mundur dari koalisi, menurut laporan.
Hal ini kemungkinan akan menyebabkan runtuhnya pemerintahan.
Muncul pula pertanyaan apakah Netanyahu bisa memenangkan pemilu lagi jika dia tidak mempertahankan dukungan dari partai-partai ultra-Ortodoks seperti Shas dan Jewish Power.
Netanyahu juga menghadapi kritik atas penanganannya soal perang di Gaza, di mana lebih dari 37.431 orang terbunuh.
Juru bicara militer Israel, Laksamana Muda Daniel Hagari, melontarkan kritik publik terhadap ambisi Netanyahu untuk mengalahkan Hamas.
“Urusan menghancurkan Hamas, membuat Hamas menghilang – ini bagaikan melempar pasir ke mata masyarakat,” kata Hagari kepada Channel 13.
“Hamas adalah sebuah ide, Hamas adalah sebuah partai."
"Hamas berakar di hati rakyat, siapa pun yang mengira kita bisa melenyapkan Hamas adalah salah.”
Kantor Netanyhu menekankan bahwa menghancurkan Hamas adalah salah satu tujuan perang militer dan berkomitmen untuk melakukannya.
Sekilas tentang Kabinet ke-37 Israel
Mengutip Times of Israel, Pemerintahan Israel ke-37 adalah kabinet Israel saat ini, yang dibentuk pada tanggal 29 Desember 2022, setelah pemilihan Knesset pada tanggal 1 November 2022.
Baca juga: Netanyahu Bubarkan Kabinet Perang Israel, Apa yang Terjadi Selanjutnya?
Pemerintahan koalisi ini terdiri dari enam partai, yakni Likud, United Torah Judaism, Shas, Religious Zionist Party, Otzma Yehudit (Jewish Power) dan Noam.
Koalisi ini dipimpin oleh Benjamin Netanyahu, yang menjabat sebagai Perdana Menteri Israel untuk keenam kalinya.
Gabungan keenam partai ini memiliki total 64 dari 120 kursi di parlemen.
(Tribunnews.com, Tiara Shelavie)