Undang-undang yang mewajibkan wajib militer, juga harus berlaku pada mereka.
“Tidak ada kerangka hukum yang memungkinkan untuk membedakan antara pelajar yeshiva dan mereka yang ditakdirkan untuk dinas militer,” kata pengadilan dalam putusannya.
4. Mengapa putusan dikeluarkan sekarang?
Sebenarnya, perdebatan mengenai apakah kelompok ultra-Ortodoks harus bertugas di militer bukanlah hal baru.
Pengecualian tersebut sudah berlaku sejak negara Israel sendiri, pada tahun 1948.
Mahkamah Agung membatalkan peraturan lama tersebut 50 tahun kemudian, dengan mengatakan kepada pemerintah bahwa mengizinkan kelompok ultra-Ortodoks untuk keluar dari wajib militer melanggar prinsip kesetaraan.
Dalam beberapa dekade setelahnya, pemerintahan berturut-turut dan Knesset (parlemen Israel) mencoba menyelesaikan masalah ini.
Namun Mahkamah Agung berulang kali mengatakan bahwa mereka ilegal.
Upaya terbaru pemerintah untuk mengatasi masalah ini, yang dilakukan sejak tahun 2018, berakhir pada akhir bulan Maret.
Permasalahan ini menjadi signifikan sejak tanggal 7 Oktober, ketika Hamas dan kelompok militan lainnya melakukan operasi Banjir Al-Aqsa ke wilayah pendudukan Israel.
Selain itu, baku tembak dengan kelompok Hizbullah Lebanon meningkatkan kekhawatiran pecahnya perang besar-besaran di wilayah Timur Tengah.
Politisi ultra-Ortodoks berpendapat bahwa menyeret mereka ke militer hanyalah demi alasan politik, dan bahwa militer tidak memiliki masalah sumber daya manusia.
Baca juga: Tak Lagi Diistimewakan, Yahudi Ortodoks Kini Wajib Ikut Dinas Militer Israel
Tetapi para pemimpin Pasukan Pertahanan Israel (IDF) tidak setuju.
Pengecualian wajib militer ultra-Ortodoks juga memicu kebencian dan iri di kalangan warga Israel yang menghabiskan waktu berbulan-bulan jauh dari keluarga mereka saat bertugas di militer.
Hal ini semakin membuka perpecahan agama-sekuler di Israel yang selama ini ada, namun kini semakin meningkat, terutama seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk ultra-Ortodoks.