Dia menyebut akar kebencian dan permusuhan berasal dari penjajah Eropa.
Kata dia, persoalan Israel-Palestina adalah “dua underdog yang diadu satu sama lain oleh kolonialisme Eropa”.
“Salah satunya bukan lagi underdog, tetapi akarnya masih tetap sama, mereka diatur demi kebencian,” ujar dia.
Sapolsky kemudian menyinggung kesamaan sejarah. Menurutnya, para penjajah Inggris melakukan tindakan brutal serupa terhadap orang-orang di seluruh dunia, terutama di Inggris, Afrika, dan Asia.
Inggris membenci orang Irlandia selama 400 tahun. Kebencian ini, kata dia, mirip kebencian di antara orang Palestina dan Israel.
“Bangsa Eropa muncul dengan pola pikir yang sudah ratusan tahun: Bahwa orang-orang di sekitar kalian benar-benar mengerikan dan berbahaya.”
Dia mengkritik cara Inggris memberikan tanah Palestina yang diduduki. Hal itu makin memperdalam permusuhan dan memunculkan penghalang psikologis di antara kedua belah pihak.
Sapolsky menyinggung contoh rekonsiliasi yang terjadi di wilayah konflik, misalnya di Irlandia Utara. Namun, dia menyebut persoalan Israel-Palestina jauh lebih rumit.
Baca juga: 3 Tahanan Palestina Ditemukan Tewas Tak Lama setelah Dibebaskan Israel, Tangan Masih Terikat
“Kalian masih bisa melihat pohon zaitun yang ditanam kakek kalian, dan kalian masih mengingat kisah Hitler yang diceritakan kakek nenek kalian. Yang satu ini tidak bisa diatasi dengan mudah,” katanya,
Mengenai gerakan solidaritas mahasiswa dunia untuk Palestina, Sapolsky menyebut mereka geram atas penderitaan yang dialami warga Palestina.
Dia mengkritik keterlibatan universitas-universitas secara tidak langsung dalam perdagangan senjata.
Menurutnya, hal itu mirip dengan aksi solidaritas yang pernah dilakukannya selama era apartheid di Afrika Selatan. Kala itu dia mengkritik perusahaan-perusahaan yang mendapat keuntungan dari segregasi rasial dan eksploitasi.
Terlepas dari terbatasnya pengetahun sejarah para mahasiswa, mereka merasakan penderitaan yang dialami orang lain.
(Tribunnews/Febri)