TRIBUNNEWS.COM - Perdana Menteri Bangladesh Sheikh Hasina menyalahkan oposisi atas kerusuhan yang melanda negara itu.
Ia mengatakan jam malam terpaksa diberlakukan demi keamanan publik.
“Saya tidak pernah menginginkannya. Kami akan mencabut jam malam ketika situasi menjadi lebih baik,” katanya pada hari Senin dalam sebuah pertemuan dengan para pemimpin bisnis di Ibu Kota Dhaka, dilansir BBC.
Komentarnya muncul sehari setelah pengadilan tinggi Bangladesh menghapus sebagian besar kuota pekerjaan dalam putusannya pada Minggu, menyusul bentrokan berhari-hari antara pengunjuk rasa dan pasukan keamanan.
Tercatat lebih dari 170 orang tewas dalam bentrokan tersebut, dan unjuk rasa telah meningkat menjadi seruan agar Hasina mundur.
Hasina menyalahkan Partai Nasionalis Bangladesh yang menjadi oposisi utama dan Jamaat-e-Islami, serta sayap-sayap mahasiswa mereka atas kekerasan yang terjadi.
Ia menambahkan pemerintah akan bekerja untuk menekan para militan dan menciptakan lingkungan yang lebih baik.
Hasina mendapatkan masa jabatan keempatnya sebagai perdana menteri pada bulan Januari dalam sebuah pemilihan umum yang kontroversial yang diboikot oleh partai-partai oposisi utama di negara ini.
“Politisasi yang berlebihan terhadap semangat perang pembebasan oleh Sheikh Hasina dan partainya, penolakan hak-hak dasar untuk memilih bagi warga negara dari tahun ke tahun, dan sifat diktator rezimnya telah membuat marah sebagian besar masyarakat,” kata Mubashar Hasan, seorang peneliti di Universitas Oslo yang mempelajari otoritarianisme di Asia.
“Sayangnya, dia tidak pernah menjadi perdana menteri untuk semua orang di negara ini. Sebaliknya, dia tetap menjadi pemimpin dari satu kelompok saja,” katanya kepada BBC Bangla.
Sebelum keputusan pengadilan pada hari Minggu, Bangladesh memberlakukan kebijakan kuota pegawai pemerintah. Sebanyak 30 persen dari kuota itu akan diisi oleh keturunan veteran yang berperang dalam perang kemerdekaan Bangladesh tahun 1971.
Baca juga: Protes Bangladesh: Setelah Pengadilan Pangkas Kuota, Lalu Apa?
Pengadilan memutuskan bahwa hanya 5% dari jabatan tersebut yang dapat diperuntukkan bagi kerabat para veteran.
Pemerintahan Hasina menghapus kebijakan pada tahun 2018 setelah adanya protes. Namun, pengadilan memerintahkan pihak berwenang untuk mengembalikan kuota tersebut pada bulan Juni.
Putusan tersebut memicu keresahan baru.