Dia menekankan bahwa Abu Ubaida mencatat langkah sebelumnya yang tidak akan membiarkan Israel kemudian melontarkan tuduhan palsu.
Al-Duwairi berpendapat bahwa kedua insiden tersebut terjadi sebagai reaksi setelah pembantaian Israel dengan darah dingin di Sekolah Al-Tabaeen di lingkungan Al-Daraj, sebelah timur Kota Gaza, di mana bom Israel menewaskan lebih dari 100 warga Gaza saat salat subuh.
Dia menggambarkan pembantaian Tabaeen sebagai kejahatan yang mengerikan menurut semua standar .
Pembantaian ini disebutkan menggunakan bom dahsyat karena tubuh korban berubah menjadi potongan-potongan kecil dan bagian tubuh yang berserakan akibat pemboman Israel.
Dia menambahkan, “Kriminalitas pendudukan menyebabkan tekanan yang parah di antara para penjaga dan menyebabkan mereka kehilangan kemauan untuk melakukan insiden ini.”
Konsekuensi Eksekusi Sandera
Mengenai konsekuensi yang ditimbulkan dari hal ini, Al-Duwairi meyakini kalau pihak pendudukan Israel harus mengambil tindakanseiring dengan meningkatnya tingkat ketegangan di pihak Al Qassam yang 'gatal' mengeksekusi sisa sandera Israel di tangan mereka.
Israel, kata dia, sebaiknya mendorong tercapainya kesepakatan yang mengarah pada kesepakatan pertukaran tahanan.
Namun Al-Duwairi meyakini reaksi Israel adalah melakukan lebih banyak pembantaian, karena secara historis dan selama 75 tahun terakhir, Israel merespons tindakan apa pun dengan tindakan 'ganda'.
Ganda yang dimaksud adalah Israel akan melakukan kerusakan dua kali lipat dari kerugian yang mereka alami.
Al-Duwairi menekankan kalau tahanan dihormati dalam budaya Islam, yang terlihat jelas dalam video serah terima tahanan pada akhir November lalu.
Hal itu mencerminkan sifat penanganannya, terutama terhadap tahanan perempuan, yang menekankan dimensi moral perlawanan Palestina.
Di sisi lain, tahanan Palestina terus berjatuhan sebagai martir di dalam penjara Israel, ditambah dengan praktik asusila yang dilakukan tentara pendudukan, yang terbaru adalah pemerkosaan terhadap seorang tahanan.
(oln/khbrn/*)