TRIBUNNEWS.COM, AUSTRALIA - Pihak berwenang Australia menolak masuknya anak-anak korban perang Israel yang terbunuh di Jalur Gaza.
Anak-anak itu rencananya akan diajak ke Australia oleh keluarganya yang telah lama tinggal di Australia.
Zuhair El Henday, yang telah tinggal di New South Wales (NSW) selama beberapa tahun, mengatakan dia telah berusaha sebaik mungkin tetapi gagal mendapatkan visa untuk keluarganya yang tersisa di Gaza.
"Saya telah membuktikan bahwa saya adalah warga negara sejati dan saya berkontribusi bagi negara ini, berkontribusi bagi masyarakat. Jadi, mengapa saya tidak berhak membawa keluarga saya ke sini untuk membuat mereka aman?" kata El Henday seperti dilaporkan SBS News, Minggu (18/8/2024).
Kakaknya, Lubna, beserta suaminya, dua putra dan menantunya tewas dalam serangan udara Israel di rumah mereka di Kota Gaza November lalu.
Sementara tiga keponakan El Henday selamat dari serangan itu.
Pengungkapan El Henday muncul setelah tuntutan terbaru pemimpin oposisi Australia Peter Dutton untuk melarang warga Palestina yang melarikan diri dari Gaza memasuki Australia.
Tuntutan tersebut telah memicu reaksi keras dari pemerintah dan organisasi masyarakat sipil.
Perdana Menteri Anthony Albanese mengatakan pemimpin oposisi selalu berusaha memecah belah masyarakat.
"Peter Dutton selalu ingin memecah belah. Kami akan mendengarkan badan keamanan terkait keamanan nasional,” kata Albanese.
Baca juga: Taktik Iran Tunda Serangan Membuat Perekonomian Israel Terancam Ambruk
Nasser Mashni, presiden Jaringan Advokasi Australia Palestina, mengecam Dutton dan mengatakan komentarnya "memalukan."
Israel, yang mengabaikan resolusi Dewan Keamanan PBB yang menuntut gencatan senjata segera, telah menghadapi kecaman internasional di tengah serangan brutalnya yang berkelanjutan di Gaza sejak serangan 7 Oktober tahun lalu oleh kelompok perlawanan Palestina, Hamas.
Serangan Israel sejak itu telah menewaskan lebih dari 40.000 orang.
Sebagian besar wanita dan anak-anak, dan melukai lebih dari 92.400 orang, menurut otoritas kesehatan setempat.
Lebih dari 10 bulan sejak serangan Israel, sebagian besar wilayah Gaza masih hancur di tengah blokade yang melumpuhkan terhadap makanan, air bersih, dan obat-obatan.
Israel dituduh melakukan genosida di Mahkamah Internasional (ICJ), yang memerintahkannya untuk segera menghentikan operasi militernya di kota selatan Rafah, tempat lebih dari 1 juta warga Palestina mencari perlindungan dari perang sebelum diserang pada 6 Mei.
Barat Dukung Mediasi
Sementara itu, Inggris, Prancis, Jerman, dan Italia pada Sabtu kemarin menyatakan dukungannya terhadap upaya mediasi yang sedang berlangsung yang dipimpin oleh AS, Mesir, dan Qatar untuk mengakhiri perang di Gaza.
"Kami, Menteri Luar Negeri Inggris, Prancis, Jerman, dan Italia, sangat mendukung upaya mediasi yang sedang berlangsung oleh Amerika Serikat, Mesir, dan Qatar untuk menyelesaikan kesepakatan gencatan senjata dan pembebasan sandera, dan merasa terdorong oleh pendekatan konstruktif yang telah diadopsi sejauh ini," bunyi pernyataan bersama tersebut.
Mereka menyambut baik kelanjutan pekerjaan teknis dalam beberapa hari mendatang, termasuk ketentuan kemanusiaan dan pengaturan khusus mengenai sandera dan tahanan.
Para menteri luar negeri menekankan bahwa para pejabat senior diharapkan berkumpul kembali sebelum akhir minggu depan, dengan tujuan menyelesaikan kesepakatan.
“Kami mendesak semua pihak untuk terus terlibat secara positif dan fleksibel dalam proses ini. Kami menggarisbawahi pentingnya menghindari tindakan eskalasi apa pun di kawasan yang akan merusak prospek perdamaian. Terlalu banyak yang dipertaruhkan,” kata mereka.
Sumber: Anadolu