Dr Wissam Abu Bakr mengatakan kendaraan militer Israel mengepung rumah sakit, mencegah orang masuk dan keluar dengan bebas.
“Ambulans yang mengangkut sejumlah korban dari kota tersebut diperiksa dengan saksama saat mereka mencoba memasuki rumah sakit, sementara tentara memeriksa kartu identitas sejumlah orang yang terjebak di rumah sakit sebelum mengizinkan mereka meninggalkannya setelah beberapa jam,” kata Abu Bakr.
Unit penembak jitu juga dikerahkan di gedung-gedung yang berdekatan dan menghadap ke rumah sakit, tambahnya, untuk membatasi pergerakan penghuni.
Di kamp Far'a, Ghoneimi mengatakan karena penutupan jalan menuju kamp, paramedis terpaksa mengambil jalan bergelombang untuk mengangkut korban tewas dan terluka.
Beberapa warga terpaksa menebang pohon di dekat rumah mereka agar ambulans dapat melewati gang-gang sempit.
Setiap kali tim medis mencoba mencapai pintu masuk kamp, mereka diancam oleh tentara dan akan ditembak, kata Ghoneimi.
“Jika kami menerima panggilan terkait kasus darurat di dalam kamp, paramedis berusaha menanganinya di lapangan, dan jika mereka memerlukan transportasi ke rumah sakit, ambulans berusaha menjangkaunya melalui jalan tanah terjal yang memerlukan waktu lebih lama untuk dilalui.”
Ghoneimi mengatakan kepada MEE bahwa pemboman kamp tersebut adalah "pemboman udara paling dahsyat" yang pernah dialaminya.
“Salah satu martir itu tidak memiliki tengkorak, bahu, atau otak, seolah-olah dia telah meleleh saat pengeboman,” katanya.
(Tribunnews.com, Andari Wulan Nugrahani)