TRIBUNNEWS.COM – Para pekerja migran Indonesia yang merantau ke Inggris menjadi pekerja musiman pemetik buah di perkebunan kini malah terlilit utang.
Mereka sudah membayar ribuan dolar untuk bisa mendapatkan pekerjaan di Inggris sebagai buruh pemetik buah. Namun mereka menghadapi kenyataan pahit tidak bisa memenuhi target pemetikan buah seperti diminta majikannya.
Alhasil mereka pun dipecat. Biaya berangkat kerja ke Inggris dari uang hasil utangan belum terbayarkan.
Kini mereka menghadapi kemungkinan kembali pulang ke Indonesia dengan menanggung banyak utang setelah dipecat dari perkebunan tempat mereka bekerja karena tidak mampu memenuhi target yang memang tidak realistis.
Abdul, salah satu pekerja migran pemetik buah musiman asal Indonesia di Inggris mengatakan, dia berangkat ke Inggris pada bulan Mei 2024 bersama sembilan warga Indonesia lainnya.
Saat akan berangkat kerja ke Inggris dia dan teman-temannya sudah tahu akan diperkerjakan sebagai buruh pemetik buah musiman dengan visa enam bulan bekerja yang diberikan oleh Pemerintah Inggris kepada pekerja asing untuk bekerja di sektor pertanian di Inggris.
Di Inggris, Abdul dipekerjakan oleh perekrut Inggris Agri-HR, dan kemudian bekerja di Haygrove, sebuah perkebunan di Hereford, yang berjarak 215 km di barat daya London.
“Seorang teman saya yang pernah berkunjung ke Inggris memberi tahu saya tentang peluang ini," kata Abdul.
"Dia bilang saya bisa menghasilkan 65 dolar AS per hari dengan memetik buah,” Abdul, yang meminta untuk menggunakan nama samaran dirinya kepada Al Jazeera.
Sebelumnya, Abdul memiliki penghasilan sekitar berpenghasilan sekitar 130 dolar AS atau sekitar Rp 2 juta per bulan sebagai penjual es krim di sebuah kabupaten di Jawa Tengah.
Untuk berangkat bekerja ke Inggris, dia mengandalkan uang pinjaman dari keluarga dan temannya sebesar 4,000 dolar atau sekitar Rp 62 juta yang dia setorkan kepada sebuah agen rekrutmen tenaga kerja di Indonesia bernama PT Mardel Anugerah International dan sebuah agen tenaga kerja bernama Forkom.
Abdul mengatakan para pekerja di Haygrove ditargetkan memetik buah ceri dan stroberi sebanyak 20 kg per jam.
Menurutnya, itu targetyang mustahil dpenuhi karena buah yang bisa dipetik tidak sebanyak itu serta sudah berlalunya musim panen.
“Kami [pekerja Indonesia] selalu ditempatkan di pinggir perkebunan yang buahnya sedikit. Beberapa kali kami diberikan pohon yang kondisinya tidak bagus dan kami memetik semua buah yang ada, namun kami tidak bisa berbuat lebih dari itu,” ujarnya.
Baca juga: Memalukan, Pekerja Migran Indonesia Mabuk-mabukan di Osaka Pakai Miras Oplosan
Abdul mengatakan dia dan empat pemetik buah asal Indonesia lainnya menerima tiga peringatan tertulis sebelum mereka dipecat dalam waktu lima hingga enam minggu setelah mereka tiba dan baru mulai bekerja di perkebunan tersebut.
Yang dia heran, ada pekerja lain yang juga gagal memenuhi target tapi tidak dipecat seperti dirinya.
“Saat mereka melepaskan kami, pihaknya Haygrove hanya bilang, ‘Maaf, kami juga tidak menginginkan ini’, dan memberikan kami surat resmi yang menyatakan kami telah dipecat dan tiket kami kembali ke Indonesia berangkat keesokan harinya,” ujarnya.
Dalam sebuah pernyataan yang diberikan kepada Al Jazeera, Haygrove mengatakan para pekerja tersebut dipecat karena kinerja mereka yang buruk.
Mereka bilang “berkomitmen terhadap praktik ketenagakerjaan yang adil dan kesejahteraan semua pekerja."
“Pada 24 Juni 2024, lima pekerja Indonesia diberhentikan setelah menjalani proses disipliner yang menyeluruh dan adil karena kinerjanya yang terus-menerus buruk. Pemecatan ini dilakukan sesuai dengan prosedur manajemen kinerja terstruktur kami, yang mencakup beberapa tahap umpan balik, pelatihan, dan dukungan,” kata pihak Haygrove.
Gangmasters and Labor Abuse Authority (GLAA), badan utama Inggris untuk menyelidiki eksploitasi tenaga kerja, awal tahun ini membuka penyelidikan atas kasus tersebut.
Menurut peraturan perizinan GLAA, “pemegang lisensi tidak boleh memungut biaya kepada pekerja untuk layanan pencarian kerja apa pun”. Namun, biaya lain seperti perjalanan dan pemeriksaan kesehatan mungkin dikenakan selama bersifat sukarela.
“Barang atau jasa tambahan harus bersifat opsional dan tidak dapat didiskriminasi jika tidak digunakan,” peraturan tersebut menyatakan.
Dalam pernyataan yang diberikan kepada Al Jazeera, GLAA mengatakan pihaknya sedang menyelidiki keluhan para pekerja.
“Kami saat ini sedang menyelidiki proses perekrutan sejumlah pekerja Indonesia di Inggris dan berupaya untuk mengetahui keadaan sebenarnya. Saat ini, kami tidak bisa berkomentar lebih jauh saat penyelidikan sedang berlangsung,” katanya.
Buah Ceri menunggu panen di sebuah kebun di Tunisia [File: Mohamed Messara/EPA-EFE]
Haygrove mengatakan pihaknya menanggapi tuduhan pelanggaran dengan “sangat serius” dan sepenuhnya bekerja sama dengan penyelidikan GLAA.
“Kami tidak mengetahui adanya biaya perekrutan ilegal sampai kekhawatiran disampaikan oleh pihak ketiga dan kemudian dilaporkan ke Glaa oleh Agri-HR. Haygrove memiliki kebijakan yang tidak menoleransi praktik semacam itu dan secara aktif mendukung penyelidikan GLAA,” kata mereka.
“Kami menekankan bahwa tidak ada permasalahan yang diangkat langsung oleh para pekerja Indonesia mengenai perekrutan, akomodasi, atau kondisi kerja mereka di Haygrove.”
“Ini adalah kesalahan pihak Inggris. Sistemnya rusak dan para aktornya rusak. Mereka lemah dan naif," sebutnya.
"Mereka telah membuat skema di mana pekerja harus membayar biayanya sendiri, namun mereka bisa melakukannya dengan benar dan, jika mereka melaksanakannya dengan benar, semuanya akan baik-baik saja.”
Hall mengatakan, supermarket di Inggris adalah bagian utama dari masalah ini karena mereka ingin membeli produk dengan harga termurah, yang berarti bahwa pertanian pada gilirannya tidak mau membayar biaya rekrutmen tenaga kerja.
“Peternak tidak mau membayar perekrut, dan perekrut kemudian mengharapkan pekerja untuk membayar sendiri,” katanya.
“Supermarket bertanggung jawab atas semua kekacauan ini. Mereka punya uang untuk melakukan ini dengan benar. Itu semua hanyalah tekanan pada harga.”
Setelah pemecatan mereka oleh Haygrove, Abdul dan dua pekerja lainnya memutuskan untuk tetap tinggal di Inggris.
Abdul kini telah mendapatkan pekerjaan di pertanian lain dengan memetik selada, meskipun visa enam bulannya akan habis pada bulan November, setelah itu ia harus kembali ke Indonesia.
PT Mardel mengatakan kepada Al Jazeera bahwa warga Indonesia yang ingin memanfaatkan skema pekerja musiman Inggris harus mampu menanggung biaya visa, pemeriksaan kesehatan, tiket pesawat pulang pergi dan asuransi, serta biaya pemrosesan lainnya sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh pihak Indonesia. departemen tenaga kerja.
“Perkiraan biaya yang dibutuhkan maksimal 33 juta rupiah [$2,123],” kata juru bicara perusahaan.
“Para pekerja yang kami tempatkan di Inggris sangat senang bisa bekerja di sana dengan gaji yang sangat bagus. Peternakan juga menaruh perhatian besar terhadap kesejahteraan mereka,” kata juru bicara tersebut.
PT Mardel juga mengatakan “tidak ada hubungan antara PT Mardel dan Forkom”. Forkom tidak menanggapi permintaan konfirmasi.
Beberapa pekerja lain yang menunggu keberangkatan ke Inggris mengatakan kepada Al Jazeera bahwa mereka juga dibebani hutang.
Ali, seorang pelamar pekerja musiman dari Provinsi Jawa Tengah, mengatakan dia masih menunggu untuk berangkat ke Inggris setelah Forkom memberitahunya bahwa dia bisa berangkat pada Agustus tahun lalu.
“Mereka mengatakan jika saya pergi ke Inggris, saya akan mendapat $65 per hari dengan memetik stroberi. Saya harus berhenti bekerja di Indonesia agar saya bisa fokus mengumpulkan semua dokumen, tapi kemudian saya tidak bisa pergi,” Ali, yang meminta untuk menggunakan nama samaran, mengatakan kepada Al Jazeera.
Ali mengatakan dia sekarang mempunyai utang sekitar $1.300 kepada keluarganya.
“Saya telah menghabiskan semua uang saya. Sebelumnya, saya biasa membeli barang bekas dan menjualnya di pinggir jalan. Saya telah melakukan itu selama 25 tahun dan itu cukup bagi saya untuk menafkahi keluarga saya,” katanya.
“Semua informasi tentang skema tersebut dikirim melalui Forkom, dan mereka memberikan janji yang tidak ditepati. PT Mardel juga mengatakan bahwa kami perlu mentransfer uang kepada mereka untuk menjamin pekerjaan kami di Inggris.”
“Istri dan anak-anak saya menderita karena semua uang kami habis,” kata Ali. “Saya tidak mampu membayar biaya sekolah anak-anak saya dan uang saku mereka. Dampak terbesar terjadi pada keluarga saya. Saya selalu bertengkar dengan istri saya sekarang karena kami tidak punya uang.”
Dalam pernyataan yang dikirim ke Al Jazeera, KBRI London menyatakan mengetahui adanya laporan eksploitasi pemetik buah Indonesia di Inggris.
“KBRI London mendukung upaya pemerintah Indonesia untuk memastikan penempatan pekerja migran Indonesia musiman ke Inggris sesuai dengan peraturan dan hukum yang berlaku di kedua negara,” kata KBRI London.
Kedutaan menyatakan mengetahui bahwa 136 pekerja musiman telah tiba di Inggris dan ditempatkan di tujuh tempat kerja di Inggris pada 22 Juli 2024.
“Penempatan pekerja musiman tersebut telah sesuai dengan rekomendasi Kementerian Ketenagakerjaan Indonesia serta verifikasi dan konsultasi dengan otoritas terkait di Inggris,” ujarnya.
Menanggapi tuduhan adanya pungutan liar selama proses perekrutan, kedutaan mengatakan pihaknya “mendukung penyelidikan dan penegakan hukum yang dilakukan oleh pihak berwenang di Indonesia dan Inggris, termasuk mendorong penyelidikan oleh GLAA”.
Andy Hall, seorang aktivis hak-hak buruh yang mendukung pekerja Indonesia, mengatakan perusahaan-perusahaan Inggris semakin banyak yang beralih ke pekerja migran karena Brexit.
Laporan Aisyah Llewellyn/Aljazeera