News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

‘Revisi kurang delapan jam’ UU Kementerian Negara buka jalan bagi ‘kabinet jumbo’ Prabowo

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

‘Revisi kurang delapan jam’ UU Kementerian Negara buka jalan bagi ‘kabinet jumbo’ Prabowo

Ini disebut sebagai upaya untuk meningkatkan rasio pajak demi “menyediakan ruang belanja yang memadai bagi pelaksanaan pembangunan”.

Selain itu, Presiden Joko Widodo telah membentuk dua badan baru setingkat kementerian: Kantor Komunikasi Presiden dan Badan Gizi Nasional.

Badan Gizi Nasional akan mengeksekusi program makan bergizi gratis Prabowo, yang mulai berjalan tahun depan dengan alokasi dana sekitar Rp71 triliun.

“Ini salah satu program penting kita dan sangat penting untuk pembangunan manusia guna mewujudkan sumber daya manusia yang berdaya saing,” kata Kamhar.

Apakah penambahan kementerian hanya untuk bagi-bagi jabatan?

Aisah Putri Budiatri, peneliti di Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), mengatakan wajar bila publik menduga revisi UU Kementerian Negara dilakukan dengan kilat demi “politik dagang sapi” presiden terpilih Prabowo Subianto.

Selain proses revisi UU yang menurutnya berjalan “sangat ngebut”, pasal-pasal yang berubah, ditambahkan, atau dihilangkan pun spesifik terkait proses penyusunan kementerian, kata Aisah.

Apalagi, selama beberapa bulan terakhir wacana penambahan jumlah kementerian terus bergulir, seiring dengan bertambahnya jumlah partai politik pendukung Prabowo dalam KIM Plus.

Dari sana, kata Aisah, ada kepentingan membentuk kabinet “jumbo” agar Prabowo dapat mengakomodasi partai-partai pendukung plus para relawan yang telah membantunya memenangkan pemilu.

“Sebenarnya itu wajar ya ketika presiden mengangkat orang yang dipercaya atau yang memang ‘berdarah-darah’ membantu dia dalam proses pemilu,” kata Aisah.

“Tapi kemudian tidak wajar ketika segala cara dilakukan untuk menarik semua dukungan itu masuk ke dalam pemerintahan.”

Bivitri Susanti, pakar hukum tata negara dari Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, menyampaikan hal senada.

Ia bilang banyak urusan yang sebenarnya bisa diselesaikan tanpa membentuk kementerian baru. Jadi, katanya, ini bukan soal jumlah kementerian, tapi kemampuan seorang pemimpin dalam mengorganisasikan beragam kepentingan berbeda.

Selain memakan waktu, pembentukan kementerian baru pun disebut bakal menelan biaya besar, yang seharusnya bisa dialokasikan untuk hal-hal lain yang lebih mendesak, termasuk untuk memperbaiki situasi ekonomi dalam negeri.

“Jadi, buat saya ini sama sekali enggak ada urgensinya,” kata Bivitri.

“Satu-satunya alasan menurut saya kenapa ini dipercepat adalah memang jabatan-jabatan menteri ini mau dibagi-bagikan sebagai cara untuk melakukan ‘rekrutmen politik’ untuk membuat koalisi yang besar [...] supaya tidak ada oposisi.”

Menurut Dave Laksono, ketua DPP Partai Golkar yang juga tergabung dalam KIM Plus, presiden memiliki hak prerogatif untuk menentukan komposisi kabinetnya sesuai kebutuhan agar target-target yang dipasang dapat tercapai.

“Hak prerogatif presiden untuk menentukan bentuk pemerintahannya seperti apa, siapa yang beliau inginkan untuk masuk dalam pemerintahan, dan langkah-langkah pemerintahannya itu apa saja,” kata Dave.

Sementara itu, Kamhar Lakumani dari Partai Demokrat tidak setuju bila proses revisi UU Kementerian Negara disebut sengaja dikebut jelang pergantian pemerintahan.

Kamhar bilang wacana revisi telah ada sejak lama, apalagi mempertimbangkan UU tersebut pertama terbit pada 2008 dan tak lagi relevan dengan dinamika politik hari ini.

Aisah dari BRIN tak sepakat.

Menurutnya, pembatasan maksimal 34 kementerian di UU Kementerian Negara tahun 2008 justru penting agar “politik akomodatif tidak berjalan tanpa batas”.

Terlebih lagi, kata Aisah, “bagi-bagi kursi” telah menjadi karakter pemerintahan Indonesia sejak pemilu presiden langsung pertama di era Reformasi.

“Sah-sah aja mereka bilang ini adalah hak konstitusional, hak prerogatif presiden, suka-suka presiden mau bentuk pemerintahannya seperti apa,” ujar Aisah.

“Tapi presiden itu juga harus tunduk pada aturan hukum. Makanya aturan hukum itu membentuk batas maksimal supaya kemudian dia enggak jadi tiran, enggak kemudian menggunakan kewenangan politiknya untuk kepentingan politik sementara.”

“Karena kita ingat, Presiden Soeharto di masa Orde Baru menjadi otoritarian ya karena aturan hukum pada saat itu enggak bisa membatasi dia dalam menjalankan fungsi pemerintahannya sebagai presiden. Nah, ini kan era demokrasi. Sudah berubah.”

Apa risiko yang menghantui kabinet jumbo?

Semakin banyak jumlah kementerian, semakin besar kemungkinan hadirnya menteri-menteri “medioker” yang dipilih bukan karena kompetensi, tapi karena kepentingan politik, kata Bivitri Susanti dari Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera.

“Akibatnya nanti kebijakan yang dihasilkan untuk kita juga tidak membaik. Jangan-jangan malah salah sasaran,” kata Bivitri.

Seharusnya, kata Bivitri, rejam jejak dan kompetensi seseorang yang dijadikan landasan memilih menteri. Namun, yang terjadi belakangan mengindikasikan sebaliknya.

Hashim Djojohadikusumo, wakil ketua Dewan Pembina Partai Gerindra, sebelumnya sempat mengatakan bahwa ada empat alumnus SMA Taruna Nusantara yang akan menjadi menteri di kabinet Prabowo Subianto.

“Saya sudah hitung dua, tiga, empat mungkin lulusan SMA Taruna Nusantara bakal jadi menteri di kabinet yang baru ini,” kata Hashim dalam sebuah forum di Jakarta pada Sabtu (7/9).

Bivitri mempertanyakan pernyataan Hashim itu.

“Kalau dia sudah duluan ngomongin asal sekolah, berarti kan dia enggak ngomongin kompetensi,” kata Bivitri.

“Dia seharusnya kan kebalik cara berpikirnya. [Seharusnya] kita lihat dulu portofolio kementeriannya apa, terus baru kemudian cari karakter-karakternya, syarat-syaratnya yang dibutuhkan apa, baru rekrut menterinya.”

Kementerian yang terlalu banyak juga disebut berpotensi mempersulit koordinasi dan implementasi kebijakan di lapangan.

Apalagi, katanya, tiap kementerian punya “ego sektoral” yang membuat mereka saling tidak mau mengalah dan menghambat proses koordinasi.

Aisah Putri Budiatri, peneliti di Pusat Riset Politik BRIN, juga melempar kekhawatiran soal tumpang-tindih kebijakan.

Contohnya, ia bilang banyak kementerian saat ini punya program yang terkait dengan Papua, entah yang terkait isu pendidikan, kesehatan, ataupun perempuan.

“Antara kementerian satu dan kementerian lain itu programnya bisa serupa, tapi enggak ada koordinasi. Jalan masing-masing,” kata Aisah.

“Terus itu tumpang-tindihnya enggak hanya antar-kementerian, tapi juga dengan program pemerintah daerah. Banyak yang akhirnya itu cuma jadi program-program yang enggak berkelanjutan, enggak efektif.”

Masalah lain yang bisa muncul adalah pembengkakan anggaran.

Menurut Bivitri, kementerian baru tak hanya butuh menteri baru, tapi juga gedung kantor dan staf baru, entah direktur jenderal, staf ahli, ataupun staf khusus.

“Itu semua bisa makan waktu dua tahun loh untuk mendirikan satu kementerian, dan ongkosnya juga besarnya luar biasa,” kata Bivitri.

Dan, itu semua bisa berujung pada terbukanya ruang-ruang baru bagi praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN), kata Susi Dwi Harijanti, pakar hukum tata negara dari Universitas Padjajaran.

“Setiap jabatan baru, apalagi dengan dasar pertimbangan yang tidak kokoh, itu menjadi peluang, lahan baru untuk KKN,” kata Susi.

Rencana menambah kementerian, kata Susi, jadinya bertentangan dengan retorika reformasi birokrasi yang kerap disampaikan Presiden Joko Widodo selama ia menjabat.

Selama ini, Jokowi terkesan begitu semangat memangkas ribuan peraturan yang dianggap mengganggu iklim investasi. Ia pun sempat membubarkan beberapa badan dan menekankan pentingnya memiliki birokrasi yang tidak berbelit-belit.

“Ini kan kontraproduktif jadinya,” kata Susi.

“Di satu sisi kita bicara mengenai efisiensi penyelenggaraan negara, tapi di sisi lain demi akomodasi-akomodasi politik, kemudian itu menjadi tidak efisien.”

Apakah ada peluang gugatan hukum?

“Sangat bisa,” kata Bivitri Susanti dari Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera.

Masyarakat disebut bisa mengajukan uji formil ke Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap revisi UU Kementerian Negara untuk mengecek apakah ada cacat prosedur.

Itu karena Baleg DPR mengatakan revisi UU tersebut merupakan tindak lanjut putusan MK yang keluar pada 2012.

Namun, putusan MK itu hanya membatalkan penjelasan pasal 10 UU Kementerian Negara terkait wakil menteri. Ia tidak menyinggung soal penghapusan batasan jumlah kementerian.

“Jadi, secara prosedur memang ini ngaco,” kata Bivitri.

“Ini alasan yang kalau dibawa ke MK sangat bisa untuk dipersoalkan.”

Selain itu, tambahnya, gugatan bisa diajukan karena tidak ada partisipasi publik yang bermakna dalam proses revisi UU tersebut.

Firman Subagyo, anggota Baleg dari fraksi Partai Golkar, mengatakan Baleg telah mengundang sejumlah tokoh masyarakat sebelum mendorong revisi UU Kementerian Negara sebagai usul inisiatif DPR, seperti dilaporkan Kompas.

Lebih lanjut, Firman bilang substansi revisi UU itu terkait dengan kewenangan presiden, sehingga “tidak perlu melibatkan banyak orang”.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini