“Di sekolah, saya berkompetisi dengan gadis lain. Suatu hari, dia makan salad, edamame, dan sedikit daging babi untuk makan siang. Saya ingat saya mengatakan kepadanya bahwa makanannya penuh kalori!”
Sarah mulai menyadari bahwa dia perlu makan lebih banyak makanan saat dia mempelajari biologi di sekolah menengah.
“Saya belajar tentang tubuh manusia dan itu adalah momen yang mencerahkan. Ah! Kita semua butuh nutrisi.”
Pada tahun 2011, Jepang mengalami bencana nuklir setelah gempa bumi dan tsunami melanda timur laut negara tersebut.
"Seorang pakar menjelaskan di TV bahwa jika Anda lebih sehat, Anda memiliki peluang lebih kecil untuk terkena radiasi nuklir. Pelajaran biologi saya dan komentar pakar tersebut membuat saya makan lebih banyak dan berat badan saya bertambah, hingga mencapai sekitar 45 kg."
Kemudian, ia pindah ke Inggris dan menemukan bahwa orang-orang tidak terlalu peduli dengan asupan kalori. Ia pun bertambah berat badan tiga kilogram.
“Saya menjalani kehidupan kuliah yang bahagia sampai saya kembali ke Jepang untuk berlibur. Orang-orang di sekitar saya, termasuk ibu saya, mengatakan saya lebih gemuk. Jadi saya harus menurunkan beberapa kilogram, tetapi itu tidak bertahan lama.”
Sarah mulai makan nasi lagi ketika dia berusia 25 tahun, empat tahun lalu.
“Saya sangat bahagia dan sehat; berat badan saya naik 7 kg dan saya berada dalam kisaran berat badan yang sehat. Saya memiliki otot karena saya juga melakukan beberapa latihan.”
Menantang standar kecantikan Jepang
Tokoh-tokoh lain di Jepang mulai menantang tren berat badan langsing dan standar kecantikan.
Dulmi Obata, 25 tahun, adalah keturunan Jepang dan Sri Lanka, dan tinggal di Kanakawa, sebuah prefektur pesisir di selatan Tokyo.
Warna kulitnya yang lebih gelap, bentuk tubuhnya yang lebih besar, dan tekstur rambutnya yang berbeda membuatnya menjadi sasaran perundungan di sekolah.
Di sekolah dasar, beberapa anak laki-laki memanggilnya gadis kulit hitam. Anak-anak yang lebih muda tidak mau mengambil mainannya.