Setelah perang saudara, Lebanon menyeimbangkan keuangannya dengan pariwisata, bantuan luar negeri dan pendapatan dari industri keuangannya serta dana yang diambil dari negara-negara Teluk Arab.
Kiriman uang juga datang dari jutaan warga Lebanon yang pergi ke luar negeri untuk mencari pekerjaan.
Bahkan pada masa resesi global tahun 2008, mereka mengirimkan uang ke Lebanon.
Pertikaian Politik 2011
Pengiriman uang, yang merupakan urat nadi Lebanon, melambat akibat pertikaian politik sektarian pada tahun 2011.
Negara-negara Teluk Sunni juga mulai menarik diri setelah bangkitnya Iran melalui kelompok teroris Syiah proksinya, Hizbullah.
Hal ini terjadi hingga tahun 2016, ketika bank mulai memberikan suku bunga yang tinggi untuk simpanan dolar baru.
Di sinilah "rekayasa keuangan" diperkenalkan yang melibatkan pemberian keuntungan besar bagi bank untuk dolar baru.
Meningkatnya arus masuk dolar menyebabkan peningkatan cadangan devisa Lebanon, tetapi ada juga peningkatan yang mengkhawatirkan dalam kewajiban.
Laporan menunjukkan bahwa utang bank sentral mungkin melebihi asetnya, yang menunjukkan kerugian yang signifikan.
Sementara itu, pembayaran utang Lebanon telah menghabiskan sekitar sepertiga atau lebih anggaran pemerintah.
Keruntuhan ekonomi dipicu oleh beberapa faktor.
Mata uang nasional anjlok dari 1.500 menjadi sekitar 23.000 terhadap dolar pada akhir Januari 2022, setelah mencapai 34.000 pada awal bulan itu.
Krisis ini makin parah setelah ledakan di pelabuhan Beirut pada Agustus 2020 menewaskan 215 orang dan menyebabkan kerusakan parah.
Pada tahun 2021, utang pemerintah Lebanon diperkirakan mencapai 495 persen dari PDB, jauh melebihi tingkat yang sebelumnya melumpuhkan beberapa negara Eropa.
Krisis Panjang di Lebanon
Bersamaan dengan perang saudara, pasukan Suriah memasuki Lebanon pada tahun 1976 dan melanjutkan pendudukan mereka hingga 30 April 2005.
Selama masa pendudukan tersebut, Suriah memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap pemerintahan, ekonomi, dan masyarakat Lebanon, baik secara militer maupun politik.
Pasukan Suriah menarik diri dari Lebanon setelah pembunuhan mantan Perdana Menteri Lebanon Rafiq al-Hariri pada tahun 2005. Pembunuhan Hariri merupakan peristiwa penting dalam politik dan masyarakat Lebanon, yang dirusak oleh perpecahan sektarian.
Meskipun Suriah menarik diri, tahun 2006 terjadi perang antara Israel dan Hizbullah.
Perpecahan dan dampak dari perang saudara telah menciptakan pertikaian politik yang menghalangi tercapainya kesepakatan mengenai jabatan Presiden. Negara tersebut tidak memiliki pemimpin politik dari tahun 2014 hingga 2016.
Jabatan Presiden masih kosong sejak 2022 setelah Michel Aoun meninggalkan jabatan presiden.
Berjuang Melawan Krisis
Dampak sosial dari krisis ini sangat besar.
Banyak warga Lebanon yang putus asa ingin meninggalkan negara itu, dan beberapa di antaranya mencoba melakukan perjalanan berbahaya untuk mencapai Eropa.
Kota-kota yang dulunya makmur kini dipenuhi jejak kemiskinan, dengan anak-anak mengemis di jalanan dan keluarga-keluarga berjuang untuk memenuhi kebutuhan pokok.
Karena tidak adanya dukungan negara yang efektif, kelompok-kelompok masyarakat sipil telah turun tangan untuk menyediakan layanan-layanan penting, termasuk distribusi makanan dan perawatan kesehatan.
Namun, kehidupan malam di Beirut, menurut beberapa laporan, adalah salah satu yang terbaik di Timur Tengah.
Pada bulan Mei, sebuah laporan di Metro Inggris mengatakan bahwa bar dan klub di Beirut beroperasi seperti biasa, memutar musik house hingga dini hari.
"Klub adalah satu-satunya tempat di mana isu sektarian tidak menjadi masalah. Kami seperti saudara di sana," kata Gabriel El Murr, pemilik Clique, kepada Metro.
Bagaimana Lebanon, Paris-nya Timur Tengah, menjadi distopia modern tercermin pada fasad The Saint George Hotel Beirut.
Hotel Beirut yang pernah menjadi tempat menginap bintang Hollywood Elizabeth Taylor, Richard Burton dan Marlon Brando, serta bintang muda Prancis Brigitte Bardot, dan bangsawan seperti Raja Hussein dari Yordania, dan Shah Iran, menampilkan eksterior yang rusak parah.
Rafiq al-Hariri dibunuh dalam sebuah ledakan bom mobil besar di luar hotel pada tanggal 14 Februari 2005.
Pemilik hotel, Fady Khoury, terluka ringan dalam serangan itu, yang menurutnya menyebabkan kerugian jutaan dolar.
Sekitar 1.800 kg TNT digunakan dalam ledakan itu, dan semua bangunan di dekatnya, termasuk hotel ikonik itu, rusak.
Itu adalah keruntuhan menyeluruh masyarakat Lebanon - dari politik hingga ekonomi - yang berakar pada perpecahan sektarian yang menyebabkannya merosot tajam dari maskot seni, budaya, dan kehidupan kelas atas menjadi rumah bagi Hizbullah.
Sumber: IT/Reuters/Metro