TRIBUNNEWS.COM - Moskow resmi mengesahkan doktrin baru terkait penggunaan senjata nuklir yang lebih luas, dengan tujuan menyerang negara-negara musuh yang berani menyerang Rusia.
Kebijakan tersebut disahkan setelah Presiden Rusia, Vladimir Putin, menggelar pertemuan dengan Dewan Keamanannya serta menyepakati masalah tersebut dengan Presiden Belarus, Alexander Lukashenko.
Hal itu dikonfirmasi langsung oleh Putin. Dalam keterangan resminya, Putin mengatakan doktrin nuklir itu benar direvisi.
"Kami melihat situasi militer dan politik modern berubah secara dinamis dan kita harus mempertimbangkan hal ini," kata Putin, dilansir AFP.
"Munculnya sumber ancaman dan risiko militer baru bagi Rusia dan sekutu kami," lanjut Putin.
Doktrin nuklir baru ini memungkinkan Moskow menggunakan senjata nuklir untuk menangkis serangan negara-negara non-nuklir yang didukung negara berkekuatan nuklir.
Menurut Putin, penggunaan senjata nuklir Rusia adalah jaminan keamanan paling penting bagi negara kita dan warga negaranya.
Adapun kebijakan baru ini berlaku untuk Ukraina, negara non-nuklir yang belakangan ini kerap menerima dukungan militer dari Amerika Serikat dan negara-negara bersenjata nuklir lainnya.
"Ini adalah sinyal yang memperingatkan negara-negara tersebut tentang konsekuensi jika mereka berpartisipasi dalam serangan terhadap negara kami dengan berbagai cara, tidak selalu dengan nuklir," kata Juru Bicara Kremlin, Dmitry Peskov.
Para ahli menafsirkan sikap keras Putin sengaja dilakukan untuk menggertak Amerika Serikat dan negara-negara sekutunya agar tak mengusik kedaulatan Rusia.
AS Kecam Rencana Rusia
Merespons rencana Rusia, Pemerintah Amerika Serikat (AS) dengan tegas menentang.
Baca juga: Ancaman Rusia, Angkatan Udara Ukraina Pamer Sistem Antipesawat Tembakkan 1.000 Peluru per Menit
Menurut Menteri Luar Negeri Amerika, Antony Blinken, penggunaan senjata Nuklir merupakan keputusan yang tidak bertanggung jawab.
Blinken bahkan menuduh Putin telah mengguncang "nuclear saber" karena penggunaan senjata Nuklir dapat memicu ancaman serius.
"Itu sama sekali tidak bertanggung jawab," tegas Blinken
Tak sampai disitu, ia juga menganggap komentar Presiden Rusia itu tidak tepat waktu.
Sebab, para pemimpin dunia sedang berkumpul di New York untuk menghadiri Sidang Umum PBB, dan meminta masyarakat internasional untuk membahas perlunya lebih banyak pelucutan senjata.
Ukraina Genjot Pasokan Senjata
Di tengah ramainya isu penggunaan nuklir Rusia, pemerintah Ukraina justru mulai menggenjot ekspor pasokan senjata untuk menunjang perang.
Terbaru, Amerika Serikat (AS) mengungkap rencana untuk memberi Ukraina sistem pertahanan rudal Patriot tambahan senilai 7,9 miliar dolar AS.
Selain rudal Patriot, Presiden AS Joe Biden turut mengirimkan, peralatan pertahanan udara dan pencegat lainnya, seperti drone, rudal jarak jauh, dan amunisi udara-ke-darat.
"Saya telah mengarahkan Departemen Pertahanan untuk mengalokasikan semua dana bantuan keamanan yang tersisa yang telah dialokasikan untuk Ukraina pada akhir masa jabatan saya," kata Biden dalam pernyataan tersebut, seperti dikutip dari Newsweek.
Menyusul langkah AS, para pemimpin negara-negara anggota Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) dilaporkan sepakat mengirimkan paket senjata tambahan untuk memperkuat pertahanan militer Ukraina di medan tempur.
Bantuan tersebut mencakup baterai dan komponen baru untuk sistem rudal Patriot, yang disumbangkan oleh Jerman, Rumania, Belanda, dan mitra lainnya.
Italia nantinya bakal menyumbangkan sistem rudal SAMP-T tambahan. Sementara sekutu lain, termasuk Kanada, Norwegia, Spanyol, dan Inggris, mengungkap akan membantu menyumbangkan sistem NASAMS, HAWK, IRIS T-SLM, IRIS T-SLS, dan Gepard.
Tak sampai disitu, negara-negara di aliansi NATO nantinya turut menyediakan ratusan amunisi canggih untuk pasukan Zelensky agar dapat memukul mundur Rusia dari kawasan Ukraina.
Pengiriman senjata canggih dilakukan anggota NATO setelah Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky mendesak komunitas global untuk bekerja sama melawan Rusia.
Dia meminta negara-negara Barat untuk terus memberikan sumbangan senjata lantaran Ukraina tak dapat berperang sendirian melawan Moskow. Terlebih belakangan ini Rusia semakin gencar melakukan serangan mematikan ke wilayah Ukraina.
(Tribunnews.com/ Namira Yunia)