Perubahan sikap itu buntut adanya kritik tajam dari menteri di kabinetnya.
Ada tiga menteri yang menentang gencatan senjata yaitu Menteri Keuangan, Bezalel Smotrich; Menteri Keamanan Nasional, Itamar Ben Gvir; dan Menteri Luar Negeri, Israel Katz.
Smotrich mengungkapkan serangan udara yang menyasar ke Hizbullah adalah satu-satunya jalan.
"Serangan di utara harus diakhiri dengan satu hasil: menghancurkan Hizbullah dan menghilangkan kemampuannya untuk menyakiti warga [Israel] di utara," kata Smotrich.
Sementara, Ben Gvir mengancam akan memboikot kabinet jika Netanyahu setuju untuk melakukan gencatan senjata.
Bahkan, dia juga mengancam akan mengundurkan diri.
"Hal yang paling mendasar dan jelas adalah bahwa ketika musuh Anda bertekuk lutut, Anda tidak membiarkan mereka pulih, tetapi sebaliknya Anda bertindak untuk mengalahkan dan menggulingkan mereka," ujar Ben Gvir.
Sedangkan, Katz tetap menginginkan agar Israel menyerang Hizbullah dan memenangkan peperangan.
"Tidak akan ada gencatan senjata di wilayah utara. Kami akan terus berjuang melawan organisasi teroris Hizbullah dengan seluruh kekuatan kami hingga kemenangan diraih dan penduduk wilayah utara dapat kembali ke rumah mereka dengan selamat," kata Katz.
Kini Serang Beirut, Tewaskan Pimpinan Hizbullah
Baru sehari menerima gencatan senjata meski dengan sejumlah syarat, Netanyahu justru memerintahkan Pasukan Pertahanan Israel (IDF) untuk menyerang ibu kota Lebanon, Beirut pada Kamis (27/9/2024) sore waktu setempat.
Dikutip dari Times of Israel, serangan udara yang dilancarkan IDF itu pun menewaskan seorang pemimpin senior Hizbullah bernama Mohammed Hussein Sorour .
Sebagai informasi, Sorour merupakan kepala pasukan udara Hizbullah yang bertanggung jawab atas armada pesawat tak berawak dan rudal jelajah.
Selain Sorour, Kementerian Kesehatan Lebanon juga mengungkapkan ada satu orang lainnya yang turut tewas, namun identitas dari korban tersebut tidak disebutkan.