"Sebagai masalah yang memiliki banyak sisi, AMR memerlukan tindakan dari berbagai sektor ekonomi, politik, sistem perawatan kesehatan, dan pembuat kebijakan untuk menyelesaikannya," kata Janet Midega dari Welcome Trust London.
Ia menambahkan, laporan tentang kematian di Afrika yang disebabkan oleh AMR, tidak hanya menyebutkan soal resistensi, tetapi yang terpenting, kurangnya akses terhadap antibiotik.
"Salah satu hal terpenting yang harus dilakukan pemerintah adalah bekerja pada pencegahan dan pengendalian infeksi, sehingga infeksi dapat dicegah sebelum terjadi... pemerintah dapat (juga) meningkatkan layanan sanitasi dan kebersihan air," ujar Midega kepada DW.
Midega menegaskan, vaksin harus tersedia secara lebih luas, seperti misalnya vaksin konjugat pneumokokus. Namun, aspek yang paling penting, tambahnya, adalah "memastikan bahwa ada akses terhadap obat-obatan antibiotika."
Obat-obatan antimikroba memainkan peran penting dalam perawatan kesehatan modern. Penyebaran patogen yang resistan terhadap obat mengancam kemampuan untuk mengobati infeksi umum.
Selain itu, infeksi yang resistan terhadap obat berdampak pada kesehatan hewan dan tumbuhan, mengurangi produktivitas di peternakan, dan mengancam ketahanan pangan.
Dalam deklarasi politik tersebut, para kepala negara dan pemerintahan berkomitmen untuk memperkuat mekanisme tata kelola dalam menanggapi AMR, dengan menggunakan pendekatan One Health, yang menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) adalah "pendekatan terpadu dan terpadu yang bertujuan untuk menyeimbangkan dan mengoptimalkan kesehatan manusia, hewan, dan ekosistem secara berkelanjutan."
"Yang kita butuhkan sekarang adalah para pemimpin mulai mempercepat kesadaran, pencegahan yang efektif, mempercepat pengelolaan AMR di tingkat nasional, regional, dan global. Kita harus menghentikan kebocoran antimikroba ke alam," ujar Wakil Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Direktur Eksekutif Program Lingkungan PBB Inger Andersen, pada pertemuan PBB baru-baru ini tentang AMR.
Penanganan di Indonesia
Sebagai respons untuk pencegahan kematian akibat resistansi antimikroba (AMR), Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI dan World Health Organization (WHO) meluncurkan Strategi Nasional Pengendalian Resistansi Antimikroba periode 2025-2029 . Demikian dikutip dari situs WHO Indonesia.
Plt. Team Lead untuk Sistem Kesehatan WHO, Prof. Roderick Salenga, mengatakan peluncuran Stranas Pengendalian Resistansi Antimikroba ini berdasarkan pada pendekatan berorientasi pada manusia WHO.
“Pendekatan ini akan menjawab langsung hambatan-hambatan yang dihadapi orang-orang saat mengakses layanan kesehatan untuk mencegah, mendiagnosis, dan mengobati infeksi, termasuk infeksi yang resistan terhadap obat,” ucap Prof. Salenga.
Dalam situs resmi pemerintah Sehat Negeriku, Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI dr. Azhar Jaya, mengungkapkan data kejadian resistensi antimikroba mencakup dua jenis bakteri yang kebal antibiotik.
“Data AMR di Indonesia secara khusus didapatkan dari data yang dilaporkan oleh rumah sakit sentinel yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan, di mana hasil pengukuran Extended-spectrum Beta-Lactamase (ESBL) tahun 2022 pada 20 rumah sakit sentinel site sebesar 68%,” ungkap Azhar.
Menilik dampak infeksi resistensi antimikroba pada pasien, masyarakat diimbau untuk bijak dalam mengonsumsi antibiotik. Upaya ini untuk mencegah terjadinya risiko infeksi AMR.