“Antara lain, Indonesia perlu meningkatkan bujet pertahanannya sebagai respons terhadap meningkatnya ketegangan di kawasan,” pungkasnya.
Peni Hanggarini, Dosen Program Magister Hubungan Internasional Universitas Paramadina juga menyoroti perkembangan pesat militer China akhir-akhir ini.
“China seolah-olah mengurangi jumlah personal angkatan bersenjatanya, tapi militer China makin kuat dalam bidang teknologi."
"China menggunakan para kaum terdidik dan terlatih pada bidang teknologi informasi untuk militer mereka,” ujar penyandang gelar doktor di bidang strategi pertahanan dari Universitas Pertahanan Republik Indonesia ini.
Dalam pandangan Peni, perilaku China dalam hal kemiliteran dapat dianggap sangat ambisius, asertif, dan agresif yang ditopang oleh upaya untuk mengejar China Dream.
Menurutnya, selain ditujukan untuk menggapai impian untuk mencapai kebangkitan nasional China seiring dengan usia RRC yang ke 100 pada tahun 2049, sikap 3 A, yaitu ambisius, asertif, dan agresif di atas juga didorong oleh kompetisi China dengan Amerika Serikat (AS).
Peni menjelaskan bahwa perkembangan di atas direspons oleh negara-negara ASEAN dengan pendekatan yang berbeda-beda.
Indonesia, misalnya, masih menjalin diplomasi pertahanan dengan China, meskipun dalam taraf kerja sama pertahanan yang tergolong masih kategori tingkat rendah.
Peni juga berpandangan, masih terdapat banyak ruang untuk meningkatkan diplomasi pertahanan Indonesia dengan China, baik secara bilateral maupun dalam konteks China sebagai mitra ASEAN.
"Setiap negara di ASEAN memiliki policy berbeda. Khusus Indonesia, akan menggunakan strategi diplomasi berdasarkan sikap politik bebas aktif. Hubungan pertahanan Indonesia-China saat ini levelnya masih sangat rendah," tegasnya.
"Latihan militer bersama China dengan Indonesia sejak 2003 sampai 2022 baru 4 kali diselenggarakan. Sementara, Indonesia dengan AS sudah dilakukan lebih dari 110 kali selama periode itu," tegasnya.